Pengantar Reforma Agraria - Urgensi dan Pemahaman
Menurut Bahasa
Secara etimologi (ilmu asal-usul kata), istilah
“agraria” berasal dari Bahasa Latin, “Ager”, yang artinya (a) lapangan; (b)
pedusunan (sebagai lawan perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara.
Kata yang mirip dari istilah tersebut adalah: “agger”
(dengan dua huruf ‘g’), yang artinya: (a) tanggul penahan; (b) pematang; (c)
tanggul sungai; (d) jalan tambak; (e) reruntuhan tanah; (f) bukit.
Dari pengertian di atas, tampak jelas bahwa yang
dicakup oleh istilah “agraria” itu bukan sekedar “tanah” atau “pertanian” saja.
Katakata “pedusunan”, “bukit”, ”wilayah”, dan lain-lain itu jelas menunjukan
arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi
olehnya. “Pedusunan”, misalnya, di situ ada tumbuhtumbuhan, ada air, ada
sungai, mungkin juga ada tambang, ada hewan, dan ada masyarakat manusia.
Semua arti tersebut memberi kesan bahwa tekanannya
memang pada “tanah”, justru karena “tanah” itu mewadahi semuanya. Pada masa
itu, konsep-konsep tentang “lingkungan”, belum dikenal. Kegiatan utama manusia
saat itu adalah berburu di hutan, menggembalakan ternak, ataupun bertani, untuk
menghasilkan pangan.
Menurut Istilah
“Reforma Agraria” atau “Agrarian Reform” adalah suatu
penataan kembali (penataan ulang) susunan pemilikan, penguasaan, dan penggunaan
sumber-sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani,
buruh tani, tunakisma, dan lainlainnya), secara menyeluruh dan komperhensif
(lengkap). “Penataan ulang” itu sendiri kemudian dikenal dengan “Land Reform”.
“Menyeluruh dan Komperhensif”, artinya, pertama,
sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan,
perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lainnya. Pendek kata,
semua sumber-sumber agraria.
Kedua, program land reform itu harus disertai
program-program penunjangnya seperti, penyuluhan dan pendidikan tentang
teknologi produksi, program perkreditan, pemasaran dan lain sebagainya,
Singkatnya, Reforma Agraria adalah Land Reform plus program penunjang.
Reformasi agraria adalah suatu istilah yang dapat
merujuk kepada dua hal. Secara sempit istilah tersebut merujuk pada distribusi
ulang lahan pertanian atas prakarsa atau dukungan pemerintah (reformasi
pertanahan (land reform)); sedangkan secara luas istilah tersebut merujuk pada
peralihan sistem agraria suatu negara secara keseluruhan, yang sering kali juga
meliputi reformasi pertanahan.
Reformasi agraria dapat mencakup kebijakan dalam bidang
kredit, pelatihan, penyuluhan, penyatuan tanah, dll. Bank Dunia mengevaluasi
reformasi agraria menggunakan lima dimensi: (1) harga dan liberalisasi pasar,
(2) reformasi pertanahan (termasuk pengembangan pasar pertanahan), (3) saluran
pasokan atas pengolahan hasil dan input pertanian, (4) keuangan pedesaan, (5)
institusi pasar.
Perbedaan antara Reformasi Agraria dengan Reforma Agraria
Reformasi pertanahan ialah berkaitan dengan hak-hak
atas tanah, serta sifat, kekuatan dan distribusinya, sementara reformasi
agraria tidak hanya berfokus pada hal-hal tersebut, tetapi juga satu lingkup
permasalahan yang lebih luas lagi: karakter kelas dalam hubunganhubungan
produksi dan distribusi dalam pertanian dan usaha-usaha terkait, serta
bagaimana hubungannya dengan struktur kelas secara keseluruhan. Dengan
demikian, ia berkaitan dengan kekuatan ekonomi dan politik serta hubungan antar
keduanya.
Reforma Agraria (Land Reform) yang menjadi istilah
terkini pemerintah bertujuan untuk kesejahteraan rakyat dengan pemanfaatan
tanah. Suatu persyaratan utama agar reformasi agraria menjadi layak dan efektif
dalam meningkatkan mata pencaharian para penerima manfaatnya ialah bahwa
program-program tersebut sesuai dengan kebijakan yang lebih luas, yang
ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan membangun lingkungan yang kondusif
untuk pengembangan pertanian rakyat yang produktif oleh para penerima manfaat
tersebut. Perlu adanya peningkatan dalam pengawasan dalam implementasi di
lapangan. Sejak dulu land reform sudah dilakukan. Pada era awal pemerintahan
Presiden Soekarno, pemanfaatan tanah terutama untuk perkebunan dan pertanian
sudah dilakukan,dengan diterbitkan UndangUndang Pokok Agraria.
Setelah lahirnya Undang Undang No.5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia atau yang lebih
dikenal dengan UUPA. UUPA memiliki ruh pemanfaatan tanah bagi kesejahteraan
masyarakat. Land Reform sebagai jantung dalam UUPA. Masyarakat Indonesia yang
sebagian besar sebagai masyarakat agraris sudah semestinya bukan buruh tani
tapi sebagai pemilik lahan, sampai sekarang pun masyarakat masih sebagian besar
sebagai buruh tani.
Makna Agraria
Makna “agraria” bukanlah sebatas “tanah” (kulit bumi),
juga bukan sebatas “pertanian” , melainkan “wilayah” yang mewadahi semuanya.
Para pendiri Republik Indonesia dan para perumus UU Pokok Agraria (UUPA) tahun
1960 sudah mempunyai “pandangan ke masa depan” (foresight) yang jauh (karena
beliau-beliau itu pada umumnya belajar sejarah dan perjalanan sejarah),
sehingga yang hendak diatur oleh UUPA itu bukan sebatas tanah tetapi “agraria”.
Pasal 1 (ayat 1 – 5) UUPA 1960 jelas sekali rumusannya:
“Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya.
“inilah “agraria”. Selain permukaan bumi, juga tubuh bumi di bawahnya (ayat 4);
juga yang berada di bawah air. Dalam pengertian air, termasuk laut (ayat 5).
Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan ruang di atas air
(ayat 6).
Demikian pula Pasal 4 ayat 2 menyatakan, “hak-hak atas
tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk menggunakan sebagian tertentu
permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut "tanah" , tetapi juga
tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada di
atasnya, dengan demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya,
dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan
yang bersumber dengan hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan
sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah, air serta ruang yang ada di
atasnya.
Atas dasar pemahaman di atas, maka istilah-istilah
“sumber daya alam” , lingkungan” , “tata ruang” (dan lain-lainnya), semua itu
pada hakekatnya hanyalah istilah-istilah baru untuk unsur-unsur lama yang sudah
tercantum dalam UUPA. Pemahaman dari semua itu adalah bahwa semua undangundang
sektoral itu seharusnya tunduk kepada atau di bawah payung UUPA 1960.
Istilah “sumber daya” itu sendiri mengandung bias
pemikiran ekonomi, bahwa “daya” itu harus dimanfaatkan. Alam itu harus
dieksploitir dengan prinsip ekonomi: “dengan pengorbanan sesedikit mungkin dan
untung sebesar mungkin”. Bahkan, karena manusia ini bagian dari alam, maka
manusia pun disebut sebagai “sumber daya” , yang karena itu harus dieksploitir
sebagai “faktor” produksi. Inilah latar belakang terjadinya gejala yang
berlangsung secara sejarah I’exploitation de I’homme par I’homme (eksploitasi
manusia oleh manusia).
Inilah juga yang ditentang oleh UUPA, antara lain melalui:
- pasal 10 ayat 1, “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
- pasal 13 ayat 2, “Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.” dan ayat 3, “Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.”
- serta pasal 41 ayat 3, “Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.”
Dengan memahami itu semua, jika memang kita sudah
benarbenar mempunyai komitmen politik untuk mengagendakan reforma agraria, maka
agar memperoleh landasan hukum yang kuat, agenda tersebut harus berupa “amanat”
MPR dalam bentuk ketetapan MPR, dan seharusnya hanya satu TAP yaitu TAP tentang
“Agraria” (terlepas dari apakah UUPA-1960 akan dipertahankan sebagaimana
adanya, ataukah akan disempurnakan).
Tujuan Reforma Agraria
- Secara Makro: mengubah strukrtur masyarakat dari susunan masyarakat warisan Belanda (tanam paksa/ cultuurstelsel) dan warisan Jepang (feodalisme/ tuan tanah-hamba tani) menjadi susunan masyarakat yang lebih adil dan merata.
- Secara Mikro: sedapat mungkin semua (atau sebagian besar) rakyat memiliki aset produksi sehingga lebih produktif dan jumlah pengangguran dapat diperkecil.
Konsep Umum Reforma Agraria
Sebelum Perang Dunia ke-II, bahkan sampai dekade
1960-an, pembaruan agraria dikenal dengan istilah “Land Reform”. “Land Reform”
yang pertama kali di dunia, secara resmi tercatat dalam sejarah adalah terjadi
di Yunani Kuno 594 tahun sebelum Masehi. Jadi umurnya sudah lebih dari 2500
tahun. Hakekat maknanya adalah Penataan kembali (atau pembaruan) struktur
pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentngan petani
kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah”. Prinsipnya: Tanah untuk penggarap.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang itu, konsep
tersebut memang sedikit- sedikit berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan
zaman dan kondisinya. Misalnya, dengan tumbuhnya banyak kota dan berkembangnya
perkotaan, maka kota-kota pun perlu ditata.
Di lain pihak, pengalaman “land reform” yang hanya
berupa “redistribusi” (pembagian kembali) tanah ternyata kurang berhasil.
Kegagalan ini, misalnya, karena buruh tani yang memperoleh tanah, banyak yang
tidak mampu mengusahakan sendiri tanahnya karena kekurangan modal, kurang
keterampilan, dan sebagainya. Akhirnya, si petani menjual tanahnya.
Berdasarkan pengalaman sejarah yang panjang itu, dan di
berbagai negara, maka sekarang disadari bahwa “land reform” itu perlu di sertai
dengan program-program penunjangnya. Program penunjang itu antara lain,
perkreditan, penyediaan sarana produksi, pendidikan dan lain-lain. “Land
reform” plus berbagai penunjang itulah yang sekarang disebut dalam bahasa
Spanyol: Reforma Agraria. Inti tujuannya tetap sama, yaitu menolong rakyat
kecil, mewujudkan keadilan, dan meniadakan atau setidaknya mengurangi ketidakmerataan.
Di Indonesia, sekarang ini sudah ada TAP- MPR No.
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (disingkat
TAP PA-PSDA). Namun sejauh ini, masih tetap terjadi perdebatan di banyak
kalangan, yang mempertanyakan, apa perbedaan antara “Reforma Agraria” (RA) dan
“Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA)”.
Pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut: Dilihat dari obyeknya, atau sasaran materi yang digarapnya, substansinya, adalah sama (bumi, ar dan seterusnya). PSDA bias ekonomi, RA bias sosialpolitik. Memang dalam sejarahnya yang panjang itu (ribuan tahun), sejak awal RA pada hakekatnya merupakan kebijakan sosial-politik, bukan kebijakan ekonomi. Barulah pada peralihan abad-19 ke abad- 20, terutama sejak terjadinya “Debat Agraria” selama 35 tahun di Eropa (1895-1929), aspek ekonomi menjadi pertimbangan penting dalam agenda RA. Walaupun sebelumnya, yaitu pada tahun 1880, Bulgaria (sebelum menjadi negara komunis) sudah melaksanakan RA dengan sangat memperhatikan aspek ekonomi. Jika demikian halnya, lantas apa yang bisa dibedakan? Perbedaanya terletak pada kata “Reforma” dibandingkan dengan kata “Pengelolaan”.
- Pengelolaan, mengandung intisari: ketertiban, kesinambungan dan keberlanjutan.
- Reforma (bahasa Spanyol), atau Reform (Bahasa Inggris), mengandung intisari: “ketidaktertiban untuk sementara” , karena prosesnya memang “menata” ulang, membongkar yang lama, menyusun yang baru.
Oleh karena itu:
- Bentuknya adalah sebuah “operasi” (menurut istilah Christoulou, 1990);
- Sifatnya “Ad Hoc” (khusus) (menurut istilah Peter Dorner, 1972);
- Prosesnya “rapid” (cepat) (menurut istilah Tuma, 1965).
Dengan demikian, program RA mempunyai batas waktu atau
punya umur. Jika demikian, dalam rangka mendorong keluarnya TAP-MPR, bagaimana
mengintegrasikan kedua pandangan tersebut di atas, manjadi satu TAP?
Pengintegrasiannya terletak pada landasan “tatakelola”. “Kelola” tanpa “tata
baru” sama saja mempertahankan ‘status quo/situasi sekarang’ (anti-perubahan).
Sebaliknya, “tata baru” tanpa “kelola” , tidak akan berkelanjutan.
Jadi, “Tata-Kelola” dalam satu paket itulah sebenarnya
yang dimaksud dengan Reforma Agraria (dalam artinya yang “sejati”), seperti
yang pernah dilakukan di Bulgaria, seperti yang telah disinggung di atas. Semua
undang-undang sektoral, “payung”-nya hanya satu yaitu: Undang-Undang Agraria.
Reforma Agraria Tahun 1960
Cita-cita revolusi Indonesia adalah “mengubah susunan
masyarakat, yaitu dari struktur masyarakat warisan stelsel feodalisme dan
kolonialisme menjadi susunan masyarakat yang lebih merata, demokratis, adil dan
sejahtera”. Itulah cita-citanya, Jadi, bukan hanya sekadar kemerdekaan politik
dalam arti mempunyai pemerintahan bangsa sendiri. Sebab walaupun punya
pemerintahan oleh bangsa sendiri, tetapi jika ternyata justru menindas
rakyatnya sendiri, apa gunanya?
Memang, tanpa kemerdekaan politik terlebih dahulu,
secara teori kita akan sulit untuk mengubah susunan masyarakat itu. Jadi
kemerdekaan dahulu barulah “sasaran-antara” , atau menurut perkataan Bung
Karno, kemerdekaan adalah “jembatan-emas”. Di seberang jembatan itulah kita
berusaha membangun masyarakat baru yang bebas dari penindasan manusia oleh
manusia. Itulah sebabnya, walaupun sudah merdeka, Bung Karno mengatakan bahwa
“revolusi belum selesai!” Karena, kita belum berhasil mengubah struktur
masyarakat.
Bahkan selama orde baru ciri penindasan itu malah
semakin nyata, melebihi di zaman kolonial. Bagi Indonesia yang masyarakatnya
berciri agraris, untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan cara melakukan
perombakan (penataan kembali) susunan pemilikan, penguasaan dan penggunaan
sumber-sumber agraria khususnya tanah, agar lebih adil dan merata, demi
kepentingan rakyat kecil pada umumnya. Inilah yang disebut “land reform”.
Sudah sejak awal, yaitu segera setelah Proklamasi
Kemerdekaan 1945. Para pemimpin mulai mengupayakan untuk melakukan Reforma
Agraria dengan cara merumuskan undang-undang agraria baru, menggantikan UU
Agraria Kolonial 1870. Namun upaya itu terpaksa mengalami proses panjang selama
12 tahun. Akhirnya lahirlah Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Proses panjang ini disebabkan oleh beberapa hal:
·
Periode 1945-1950 adalah masa revolusi fisik.
Perang dan damai silih berganti, sehingga kerja panitia penyusunan
undang-undang menjadi tersendat-sendat.
·
Periode 1950-1960, sekalipun relatif adalah masa
damai, namun gejolak politik masih juga silih berganti, sehingga kabinet
pemerintah pun jatuh bangun. Panitia Agraria pun menjadi bergantiganti: Panitia
Agraria Yogya 1948; Panitia Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956; Panitia
Sunaryo 1958; dan Rancangan Sadjarwo 1960.
·
Partai-partai besar dalam DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) berbedabeda pandangannya mengenai agraria, sehingga titik temu atau
kompromi sulit dicapai.
Kondisi tersebut jauh hari sudah diantisipasi oleh para
pemimpin Indonesia. maka masalah agraria tidak ditangani secara gegabah,
melainkan sangat serius dan hati- hati. Ada dua hal yang dianggap masalah
mendasar, yaitu soal keuangan dan soal agraria. Itulah sebabnya, dalam sejarah
kita hanya dua hal itulah yang penyusunan “Undang-undang Pokok”-nya tidak
ditangani oleh Komisi ataupun Pansus DPR, melainkan oleh “Panitia Negara”.
Sekalipun pimpinan panitia tersebut berganti-ganti
seiring dengan jatuh-bangunnya kabinet, namun pakar-pakar yang menjadi
anggotanya tetap sama. Mereka inilah yang secara terus-menerus mengembangkan
pemikiran. Singkatnya, lahirnya UU-PA 1960 bukanlah sembarangan, melainkan
melalui perdebatan panjang. Tidak seperti berbagai undangundang di masa Orde
Baru yang disusun melalui sistem “proyek” , sekali jadi.
Mengingat bahwa masalah agraria adalah masalah yang
sangat rumit dan mendasar, maka meskipun UU-PA baru tersusun tahun 1960, tetapi
sejak awal kemerdekaan, pemerintah RI sudah melakukan langkah-langkah
pendahuluan, yaitu sekaligus sebagai langkah percobaan, dalam skala kecil.
Tindakan ini, tanpa mengalami banyak kesulitan, memperoleh persetujuan badan
legislatif, karena mereka yang mempunyai vested interest (kepentingan) dalam
susunan yang lama tidak mendapat dukungan dari partai politik besar yang manapun.
Empat Langkah Pendahuluan
Prof. Dr. Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan,
seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan Indonesia menyebutkan terdapat empat
Langkah pendahuluan dalam perwujudan Reforma Agraria di Indonesia, yaitu :
1. Tahun 1946
Saat belum ada setahun Indonesia merdeka. Upaya yang dilakukan adalah menghapuskan lembaga “desa perdikan” , yaitu menghapuskan hak-hak istimewa yang sampai saat itu dimiliki oleh penguasa desa perdikan beserta keluarganya secara turun-menurun. Melalui UndangUndang No. 13/1946, setelah dari tanah mereka yang relatif luas-luas, dibagikan kembali kepada para penggarap, petani kecil, dan buruh tani. Ganti rugi diberikan dalam bentuk uang bulanan. Inilah contoh land reform terbatas, skala kecil, khususnya di daerah Banyumas, Jawa Tengah.
2. Tahun 1948
Ditetapkan Undang-Undang Darurat No. 13/1948, yang menetapkan bahwa semua tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kira-kira 40 perusahaan gula Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, disediakan untuk petani Indonesia. Hal ini mengakhiri persaingan mengenai penguasaan tanah dan air, yang tidak seimbang antara perusahaan gula yang besar dan kuat dan petani yang tidak terorganisir.
3. Tahun 1958
Sebenarnya, sejak tahun 1945, Pemerintah RI sudah berusaha untuk membeli kembali tanahtanah partikelir yang sampai saat itu dikuasai oleh tuan-tuan tanah bangsa asing. Namun proses negosiasinya berjalan sangat lamban. Oleh karena itu, maka ditetapkan UndangUndang No. 1/1958, yang menghapuskan semua tanah-tanah partikelir. Semua hak- hak yang istimewa yang sebelumnya dipegang oleh tuantuan tanah diambil alih oleh pemerintah. Proses likuidasi ini selesai sekitar tahun 1962.
4. Tahun 1960
Sekitar setengah tahun sebelum ditetapkannya UUPA (24 September 1960), telah ditetapkan lebih dulu Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH), yaitu UU No. 2/1960. Isi UUPBH ini mengandung tiga pokok utama:
- “Kepastian penyakapan” (Security of tenancy) yang tercermin dalam pasal 4 dan 5;
- Demokrasi, yang tercermin dalam pasal 7;
- Akomodasi dan pengakuan terhadap ketentuan adat (Pasal 7 ayat 1).
Demikianlah beberapa langkah pendahuluan. Ada yang
berpendapat bahwa UUPBH itu bukan lagi langkah pendahuluan, karena sudah
diberlakukan langsung secara nasional. UUPBH adalah “reform” dalam hal
penyakapan (tenancy reform). Apa yang dikenal sebagai UUPA 1960, judul aslinya
adalah UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria.
Jadi, isinya baru berupa prinsip-prinsip dasar, Karena
itu, berbagai ketentuan di dalamnya, sedianya akan dijabarkan lebih lanjut
dalam berbagai Undang-Undang khusus. Salah satu penjabaran itu adalah UU No.
56/1960 (yang semula berupa PP pengganti UU) tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian, yang kemudian secara salah kaprah dikenal sebagai UU Land Reform.
Atas dasar pertimbangan keadaan saat itu, masalah
pertanian rakyat inilah yang diprioritaskan. Tanah-tanah yang melebihi batas
maksimum diambil (dengan ganti rugi) oleh pemerintah, lalu didistribusikan
kepada rakyat (penggarap, tunakisma). Prinsip-prinsip dasar yang lain belum
sempat tergarap, keburu pemerintah lama digulingkan oleh Orde Baru. Gerakan
Land Reform lalu lenyap dari peredaran bahkan ditabukan.
Pelaksanaan Land Reform tersebut mulai dilancarkan oleh
pemerintah sejak 24 September 1961, dengan pertama-tama membentuk
panitia-panitia di ketiga tingkat daerah otonomi, untuk melakukan pendaftaran
milik tanah yang melebihi maksimum, serta tanah-tanah guntai/ absentee
(berjauhan dari pemiliknya). Langkah ini saat itu baru meliputi Pulau Jawa,
Bali, Sulawesi dan Kepulauan Nusa Tenggara. Secara keseluruhan daerah tersebut,
terdapat sekitar 27.000 pemilik sawah yahg miliknya melebihi batas maksimum.
Jumlah luas kelebihan itu semuanya ada sekitar satu juta hektar, yang kemudian
akan didistribusikan kepada rakyat tani kecil yang membutuhkannya.
Bagaimana proses selanjutnya, tidak begitu mudah untuk
menggambarkannya. Data yang akurat sukar diperoleh. Sejak berkuasanya
Pemerintahan Orde Baru, fungsi instansi agraria dijungkirbalikkan, sehingga
pendataannya terbengkalai dan data yang ada tentang gerakan land reform menjadi
kurang bisa dipercaya. Karena pengertian masyarakat yang keliru bahwa land
reform adalah mendistribusikan tanah, maka timbul pertanyaan, “tanah siapa dan
tanah apa yang dibagi-bagi?” Maka timbul istilah “tanah obyek land reform”.
Sebenarnya dalam arti yang benar, “obyek reform” adalah
semuanya seperti tanah hutan, tanah perkebunan, dan lain-lain. Semua itu di
tata ulang peruntukannya. Jadi, tidak melulu pengertiannya harus
didistribusikan, tetapi di ”redistribusi”. Artinya, diserasikan, agar rakyat
memperoleh hak secara relatif merata dan adil. Tetapi jika kita terima dulu
pemahaman yang salah kaprah tersebut, maka menurut hukum yang ada), tanah
“obyek land reform” itu, pada tahap pertama terdiri dari tiga macam, yaitu (a)
tanah kelebihan; (b) tanah guntai dan bekas tanah partikelir; dan (c) bekas
tanah swapraja yang diambil oleh pemerintah.
Problematika Reforma Agraria
Jika tujuan pembentukan UUPA adalah untuk “meletakkan
dasardasar bagi peletakan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk
mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi Negara dan Rakyat”. Maka,
rakyat mana yang telah disejahterakan dan dimakmurkan oleh Negara? Di mana
perwujudan keadilan reforma agraria pemerintah kepada rakyat? Jika lebih dari
70% penduduk di negeri ini adalah petani dan nelayan, maka rakyat mana yang
telah mendapatkan keadilan dalam reforma agraria?
Pada dasarnya memang pelaksanaan reforma agraria harus dilakukan dengan penguasaan atas sumber produksi. Artinya bagaimanapun juga tanah sebagai sumber dari segala-segala produksi yang dapat dikelola dan diperuntukan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat. Di sinilah kemudian kita juga menegaskan bahwa pelaksanaan reforma agraria sejati harus dimulai dengan penguasaan tanah sebagai alat produksi utama. Sebab tanah (dengan segala isi di dalamnya), menjadi komoditi penting yang harus dikembalikan ke tangan rakyat Indonesia. Dalam posisi ini tanah adalah modal kehidupan. Sehingga agar ia efektif, maka harus didasarkan kepada empat prinsip berikut:
- pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
- pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan;
- pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan kebangsaan Indonesia; dan
- pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial.
Adapun problematika yang ada adalah sebagai berikut:
1.
Sekalipun sudah ada landasan hukum berupa TAP
MPR No. IX/2001, tetapi sampai sekarang belum jelas tindak lanjutnya. Bahkan,
mengingat bahwa salah satu agenda sidang tahunan MPR 2003 lalu adalah meninjau
ulang semua TAP- MPR (termasuk TAP-TAP MPRS sebelum orde baru), sempat ada
kemungkinan TAP-MPR No. IX/2001 itu dicabut. Syukurlah hal itu tidak terjadi.
2.
Tantangan yang dihadapi oleh gerakan tani dan
gerakan reforma agraria sesungguhnya sangat berat, ibarat “tembok besar”.
Mengapa? Karena, terutama sejak Orde Baru, para petinggi nasional kita (sadar
atau tidak sadar) sudah terlanjur terseret ke dalam pemikiran neoliberal,
dengan masuk ke dalam komitmen-komitmen politik dan ekonomi internasional
seperti GATT (persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan), WTO (Organisasi
Perdagangan Dunia), AFTA (persetujuan oleh ASEAN mengenai sektor produksi lokal
di seluruh negara ASEAN), APEC (Kerja sama Ekonomi Asia-Pasifik), dan
sejenisnya sehingga kita terjebak di dalamnya.
3.
Ideologi neo-liberalisme yang mendewakan pasar
bebas mengambil prinsip: (a) perdagangan bebas; (b) eksploitasi tenaga kerja;
(c) investasi bebas; (d) modal bebas; dan (e) persaingan bebas. Semua ini pada
hakekatnya menggerogoti kedaulatan Negara. Kata kunci yang menyakitkan hati
adalah “Ketimpangan (ketidakmerataan) adalah Rahmat Tuhan!! Orang miskin, itu
salahnya sendiri” -- Pidato Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher.
4.
Akibat dari cara berpikir neo-liberal itu adalah
tanah harus dijadikan komoditi (barang dagangan). Karena serba bebas, maka
dagang tanah pun harus bebas. Itulah sebabnya para penganut neoliberalisme
matimatian berusaha mengubah UUD 1945, agar dapat menghapuskan peran negara.
Padahal Reforma Agraria memang memerlukan dua kekuatan yang saling menunjang,
yaitu kemauan rakyat, dan kekuasaan negara yang melindungi rakyat. Oleh karena
itu, menghadapi tantangan seperti itu, modal awal yang harus dibangun adalah konsolidasi
(merapatkan barisan) kekuatan rakyat, agar tak larut ke dalam arus tersebut.
5.
Contoh mengenai permasalah lainnya, antara lain
ialah mengenai "kepastian penguasaan lahan" bagi "buruh tani,
buruh penyewa, penghuni lahan, dan petani penyewa" , yang dapat membuat
para pekerja dan penyewa ini memiliki prospek yang lebih baik untuk dapat
memperoleh kredit dari sektor swasta; "layanan infrastruktur dan
pendukungnya"; dukungan pemerintah atas "bentuk-bentuk usaha
pedesaan" yang bersifat "pelengkap" untuk pertanian; serta
peningkatan partisipasi masyarakat dalam penetapan keputusankeputusan pemerintah
di wilayah pedesaan.
Langkah ke Depan
Di masa kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun, jangankan
pelaksanaan land reform, wacana (pemahaman) tentang land reform pun ditekan dan
dimatikan dengan menempelkan stigma-stigma (cap atau tuduhan) tertentu. Masalah
agraria ditata bukan untuk kepentingan rakyat banyak, tetapi untuk
memfasilitasi modal asing. Akibatnya, sekarang ini, masalah agraria sudah
terlanjur begitu ruwet sehingga sulit untuk mengatasinya. Gagasan land reform
muncul kembali bahkan di tahun 2001 lahir TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ini kemudian baru ditindaklanjuti
dengan Keppres No. 34/2003, yang isinya memberi mandat kepada BPN (Badan
Pertanahan Nasional) untuk melakukan “penyempurnaan” terhadap UUPA 1960.
Prospek atau masa depan pembaruan agraria yang merakyat
masih suram. Perjuangan masih panjang, karena berbagai hambatan kuat
menghadang. Hambatan-hambatan itu antara lain:
- Para petinggi atau elit nasional generasi sekarang ini tidak atau belum memahami benar masalah agraria. Ini merupakan produk pendidikan Orde Baru dalam mematikan isu reforma agraria.
- Akibatnya, belum terasa ada kemauan (komitmen) politik yang nyata untuk melaksanakan pembaruan agraria yang sejati. Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria sebagai pelaksanaan Keppres No. 34/2003 ternyata bukan “menyempurnakan” tetapi malah “mengubah” UUPA 1960.
- Sikap pemerintah, bagaimanapun juga sudah terlanjur terkait erat dengan berbagai warisan Orde Baru, seperti beratnya hutang luar negeri, keterikatan dengan kesepakatan-kesepakatan internasional dalam konteks globalisasi neo-liberal, dan pikiran-pikiran neo-liberal yang mendominasi cara berpikir para elite ekonomi.
- Di lain pihak, organisasi rakyat masih sangat lemah. Mudah dibujuk, mudah dibelokan, mudah di adu-domba. Kesadaran mengenai posisi tawarnya masih sangat rendah. (Hal ini tercermin dari Pemilihan umum yang lalu).
Mengingat hal-hal tersebut, lantas apa yang harus
dilakukan? Sudah jelas, organisasi rakyat perlu diperkuat. Diperkuat dalam
berbagai hal! Bukan hal yang mudah, tetapi harus dilakukan. Salah satu kekuatan
organisasi adalah Penguasaan Informasi. Inilah yang secara teoritis dapat
meningkatkan posisi-tawar organisasi tersebut. Namun perlu dicatat, penguasaan
informasi tanpa kesadaran tentang posisitawar itu sendiri, tak ada artinya.
Salah satu cara penguasaan informasi adalah dengan aktif mengumpulkan
informasi, atau melakukan “pendataan” (soal teknis mengenai hal ini, dapat
dipelajari bersama-sama).