Feminisme Pancasila


 

Oleh : Bon Bon Yesita Putri

Kepala Bidang Pemberdayaan Wanita SAPMA PP Komisariat UNTIRTA 2023-2024

(Feminisme Pancasila.pdf)

“Kisah perjuangan perempuan untuk kesetaraan bukanlah milik seorang feminis atau organisasi mana pun, melainkan milik upaya kolektif semua orang yang peduli terhadap hak asasi manusia.”

(Gloria Steinem, Feminis, jurnalis dan aktivis ternama dunia)

Pada zaman dahulu, perempuan Indonesia masih sangat erat kaitannya dengan pekerjaan domestik. Masyarakat Indonesia masih sangat patriarkis, sehingga mereka percaya bahwa Perempuan pada akhirnya akan bekerja mengurus rumah, suami, dan anaknya. Sedangkan, pekerjaan di luar domestik dikerjakan oleh pria. Hal ini tidak terlepas dengan kuatnya sistem Feodal pada saat itu yang menciptakan stratifikasi sosial di berbagai aspek.

Praktik merendahkan perempuan di masa kolonialisme Belanda di Indonesia juga terjadi secara eksplisit dalam bentuk kekerasan seksual. Dalam masyarakat patriarkis perempuan akan dianggap sebagai objek seksual Pria, praktik memiliki gundik dan nyai dilakukan oleh pria Eropa di Hindia Belanda (Indonesia). Pada zaman dahulu, populasi perempuan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda sangat sedikit karena pendatang utama memang didominasi oleh pria dan pada masa selanjutnya pemerintah tidak mensponsori kembali perempuan Belanda yang ingin datang, sehingga populasi didominasi oleh pria. Gundik merupakan istilah yang merujuk pada perempuan yang dijadikan sebagai budak dalam rumah tangga Eropa untuk melakukan berbagai pekerjaan, seperti mengurus rumah dan memenuhi hasrat seksual pemiliknya. Mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Sedangkan, nyai merupakan perempuan yang memiliki pekerjaan yang sama seperti gundik, tetapi mereka hanya dipelihara oleh pejabat kolonial dan swasta Belanda di daerah perkebunan. Mereka umumnya berasal dari keluarga miskin. Mirip dengan budak, mereka tidak dipandang secara terhormat oleh majikan dan masyarakat Indonesia.

Seiring berjalan nya peristiwa – peristiwa dan Praktik merendahkan perempuan, mulai menimbulkan gerakan perjuangan perempuan dari masa ke masa hingga saat ini.

1. Gerakan Feminisme di Masa Kolonialisme

Sejarah feminisme ketika zaman kolonial telah dipelopori oleh RA Kartini. Tidak seperti saudara laki-lakinya yang disekolahkan di Universitas Leiden negeri Belanda. Ia merasa terhina oleh adanya perkawinan permaduan (poligami) marak tumbuh berbagai organisasi perempuan. Pada tahun 1928 muncullah 30 organisasi, diantaranya Persatoean Perempuan Indonesea (PPI) yang menyuarakan reformasi pendidikan dan reformasi perkawinan. PPI kemudian namanya diganti menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang menyuarakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Organisasi Istri Sedar (1930) masih tetap menyuarakan anti poligami dan perceraian. Organisasi perempuan berkembang pesat pada tahun 1930-an.

2. Gerakan Feminisme di Masa Orde Lama

Organisasi wanita GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) sebagai kelanjutan dari Istri Sedar. Organisasi ini tersebar di berbagai kegiatan masyarakat seperti warung, koperasi, koperasi simpan pinjam, petani, buruh pabrik, taman kanak-kanak yang diselenggarakan di pasar, perkebunan, kampung, Badan Penyuluh Perkawinan, dan kursus-kursus dengan materi buku ajaran komunis. Organisasi ini menyuarakan : sukseskan pemilu, anti perkosaan, peningkatan kesadaran perempuan tani, berantas buta huruf, hukuman berat bagi pemerkosa dan penculikan, kegiatan sosek bagi kaum perempuan, pendidikan masalah politik, kesehatan, dan monogami.

Tahun 1955 muncul Organisasi Perempuan Islam dan Nasionalis, serta berbagai kegiatan yang terikat pada partai politik dan gerakan keagamaan dalam bentuk Balaibalai Perempuan, Bank-bank Perempuan, Surau Perempuan, Organisasi Perempuan serta Majalah Perempuan. Selain itu, tahun 1954 lahir pula organisasi PERWARI (Persatuan Wanita Republik Indonesia).

3. Gerakan Feminisme di Masa Orde Baru

Pada tahun inilah hilang organisasi wanita yang bersifat independen, akan tetapi lahir beberapa organisasi besar seperti : Golkar, Dharma Wanita ( istri PNS), Dharma Pertiwi (Istri yang suaminya bekerja di Angkatan Bersenjata) serta organisasi PKK. Adanya bentuk organisasi seperti ini telah menciptakan banyak organisasi di setiap departemen, muncul organisasi perempuan istri pejabat yang bersifat semu. Kegiatan lebih banyak berhubungan dengan kepentingan suami. Organisasi ini mendapat bantuan dari pemerintah baik politik maupun praktis, memperoleh berbagai kemudahan transportasi, kantor, keuangan dsb.

4. Gerakan Feminisme di Era Reformasi

Dalam era reformasi, munculnya berbagai organisasi wanita yang membangkitkan kembali para reformis wanita yang tidak saja membela kaumnya sendiri, melainkan juga membela dan memikirkan nasib masyarakat marjinal, dalam bentuk berbagai organisasi LSM.

 


Gerakan Feminisme sendiri sudah muncul jauh sebelum gerakan tersebut ada di Indonesia, dimana gerakan feminisme juga massif di beberapa belahan negara dengan ideologi atau haluan yang juga berbeda beda dimana tolak ukur yang menimbulkan perbedaan adalah budaya dari tiap-tiap negara. Mulai dari feminisme liberal, radikal, sampai dengan feminisme Pancasila.

Feminisme Pancasila

Feminisme itu tidak bermatra tunggal, ia beragam, tergantung kepada cara kita memandang sumber ketertindasan perempuan. Maka kita mengenal feminisme liberal, radikal, sosialis, marxis, eco-feminis, feminis islam, anarko-feminis, dan afro american feminism sampai feminisme dunia ketiga. Bahkan Ibu Shinta Nuriyah pada tahun 2000, pernah menggagas apa yang disebutnya FEMINISME PANCASILA. Ide ini untuk menggarisbawahi bahwa feminisme juga bagian dari nilai-nilai bangsa kita, yaitu feminisme yang bersandar kepada nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dalam kerangka NKRI, mengedepankan proses demokrasi dan ditujukan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Beberapa sila dalam Pancasila sangat memproyeksikan bagaimana kesetaraan gender harus dijunjung tinggi dan Pancasila membuktikan bahwa memang kesetaraan gender juga merupakan nilai nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperisila kedua, sila ketiga, serta sila keempat. Namun secara umum semua nilai – nilai dalam Pancasila juga mendukung adanya kesetaraan antara perempuan dan laki – laki diluar dari faktor biologis manusia itu sendiri.

Pertama, sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab menunjukkan bahwa negara dan bangsa Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mereka percaya bahwa setiap manusia berhak untuk mendapatkan perlakuan yang adil terlepas dari latar belakangnya, termasuk gender dan jenis kelamin. Merujuk salah satu dokumen HAM paling umum di dunia saat ini, yaitu Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, semua individu terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, ideologi politik dan lain sebagainya berhak untuk menikmati segala bentuk HAM, termasuk tidak mengalami diskriminasi.

Sila kedua juga mengimplikasikan bahwa bangsa Indonesia harus memperlakukan masingmasing sesuai kodratnya. Perempuan dapat menjadi rekan bagi pria dalam kehidupan sosial, karena mereka memiliki potensi masing - masing. Keduanya saling melengkapi secara setara. Sila selanjutnya yang jelas mendukung kesetaraan gender adalah sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila terakhir tersebut secara eksplisit mendorong hadirnya masyarakat yang adil tanpa adanya diskriminasi terhadap suatu kelompok tertentu, termasuk kepada perempuan. Mereka harus mendapatkan hak yang sama dalam mengakses fasilitas dan segala kesempatan yang sama. Selain itu, dengan masih melekatnya sistem patriarki di masyarakat Indonesia, perempuan juga seharusnya mendapatkan perlindungan yang lebih aman dari praktik patriarkis yang dilakukan oleh beberapa pihak. Perlindungan ini dibutuhkan kelompok yang lemah agar mereka mampu bekerja sesuai dengan bidangnya. Selain itu, sila ini juga mendorong kebebasan fundamental, kesetaraan di depan hukum, persamaan kesempatan dalam mengakses bidang sosial dan politik, keterbukaan, dan perlindungan dari diskriminasi atas dasar gender.

Selanjutnya, sila ketiga yaitu persatuan Indonesia juga mendorong adanya kesetaraan gender bagi perempuan Indonesia. Kesetaraan gender harus ditegakan agar nilai persatuan bangsa Indonesia tetap lestari. Dalam mencapai suatu kesatuan, semua pihak harus merasakan keadilan dan inklusivitas agar mereka merasakan perasaan yang sama, yaitu Bangsa Indonesia. Perilaku yang mendiskriminasi perempuan dapat memecah belah bangsa. Dengan demikian, sistem patriarkis yang merendahkan perempuan dan perannya harus dihapuskan.

Terakhir, sila keempat yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan juga mendorong kesetaraan gender bagi perempuan Indonesia. Sila tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara demokratis dan kekuasaan dalam pemerintah Indonesia harus diraih melalui musyawarah dan merupakan wujud perwakilan seluruh kelompok dari rakyat Indonesia. Dengan demikian, perlu pula dalam pemerintah terdapat perwakilan perempuan dengan perspektifnya yang selama ini sering kali dibungkam dan tidak didengar oleh publik. Dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk bersuara dan menyampaikan perspektifnya, maka tujuan demokrasi untuk menciptakan pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat dapat tercapai. Dalam rakyat Indonesia, perempuan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Sudah sepantasnya bagi mereka untuk mendapatkan keterwakilan dalam pemerintah dan politik Indonesia.

 


Gerakan Feminisme Hari ini (Capaian dan Tantangan)

Di Indonesia, gerakan feminisme juga telah menjadi semakin masif. Salah satu pencapaian gerakan feminisme bisa dilihat melalui advokasi kebijakan. Di ranah politik, ada UU No. 10 Tahun 2008 tentang kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen bagi partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Selain itu, beberapa tahun terakhir kita juga melihat perjuangan untuk meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Meski melalui banyak tantangan dan perdebatan, RUU ini akhirnya disahkan menjadi inisiatif DPR sebagai RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Tapi, terlepas dari capaian-capaian ini, masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh gerakan feminisme. Contohnya saja UU TPKS yang telah disahkan beberapa waktu lalu nyatanya masih belum bisa diimplementasikan secara penuh karena belum memiliki peraturan turunannya.

Namun gerakan feminisme harus tetap diperjuangkan hingga hari ini dengan memaksimalkan berbagai media. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan kemajuan digitalisasi untuk terus menyerukan upaya kesetaraan hak perempuan dan laki – laki melalui media – media digital seperti media sosial.

Lewat media sosial juga, diskusi mengenai ide-ide feminisme menjadi lebih hidup. Dengan bantuan media sosial, gagasan mengenai feminisme bisa menjangkau banyak orang, terutama generasi muda. Kita pun menjadi lebih familiar dengan sosok-sosok feminis kontemporer Indonesia. Namun, di ruang digital ide-ide feminisme sendiri juga mendapat banyak penolakan. Di ruang digital, label “feminis” kini justru bernada cacian ketimbang pujian. Di media sosial, ada banyak kelompok yang secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap feminis, bahkan cenderung membenci feminis. Hal ini menandakan bahwa meskipun gerakan feminisme nampaknya sudah semakin masif dan semakin kuat, nyatanya masih ekosistem yang melanggengkan pola pikir misoginis masih tumbuh subur. Bahkan eksistensi mereka semakin menguat, karena mereka bisa bersembunyi dibalik akun anonim di media sosial. Akun-akun ini bahkan tak segan untuk melakukan pelecehan atau perisakan di ruang digital.

Peliknya mendiskusikan feminisme di ruang digital adalah gejala dari tantangan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di dunia nyata. Di dunia nyata, gerakan feminisme kerap mendapat penolakan dari kelompok konservatif. Salah satu contohnya, adalah ketika salah satu fraksi partai di DPR menolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang mengatur pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.

Alasan terhadap penolakan tersebut karena menganggap bahwa definisi kekerasan seksual berperspektif liberal, tidak sesuai dengan nilai Pancasila. Sehingga, dikhawatirkan akan bersikap permisif terhadap perilaku seks bebas dan menyimpang.

Logika yang digunakan kelompok konservatif mengasumsikan bahwa feminisme muncul dari Barat dan tidak cocok dengan budaya Timur. Logika ini sebenarnya kurang tepat. Feminisme sebenarnya selaras dengan ajaran agama-agama dunia, termasuk Islam, Kristen, bahkan ateisme. Sebab, yang diperjuangkan oleh feminisme ialah kesetaraan gender sehingga gerakan ini bersifat inklusif. Ketika feminisme dikotak-kotakkan menjadi Barat-Timur, maka misi dari feminisme untuk membangun masyarakat yang inklusif akan gagal.

Munculnya gelombang anti-feminisme ini di satu sisi menunjukkan perjuangan gerakan feminisme masih panjang. Semakin kuat gerakan ini, semakin kuat juga penolakan yang muncul terhadapnya. Namun di sisi lain, penolakan terhadap feminisme juga bisa menjadi refleksi terhadap gerakan feminisme itu sendiri. Mungkin, ini bisa menjadi momentum bagi kita untuk bertanya, apakah gerakan feminisme sudah mampu merangkul semua orang?

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url