Menuju NKRI : Negara Kesejahteraan Republik Indonesia?

Oleh : Muhammad Giri Ainul Yaqien

Sekretaris Jenderal SAPMA PP Komisariat UNTIRTA 2023-2024

Agitasi-Pedia Februari 2024 - Ekonomi (SAPMA PP UNTIRTA).pdf


Munculnya Wacana Welfare State di Indonesia

Menurut Alnick Nathan (2023) diskursus mengenai welfare state mulai muncul dan mendapatkan banyak perhatian di Indonesia belakangan ini, termasuk di beberapa media massa. Mulai dari tulisan Todung Mulya Lubis dan Tauchid Komara Yuda di Koran Kompas hingga artikel Rio Apinino dan Muhammad Ridha di Indoprogress. Menguatnya gagasan ini dapat ditarik ke kehadiran Partai Buruh, partai baru yang dibentuk oleh beberapa konfederasi serikat buruh dan organisasi masyarakat, yang secara eksplisit mengusung welfare state sebagai platform politik.

Perdebatan yang muncul dapat menjadi sangat sengit karena welfare state itu sendiri sering kali dimaknai secara berbeda. Di satu sisi, pemaknaan terhadap welfare state dan bahkan istilahnya bergantung pada konteks sosial dan historis serta dinamika politik dalam masyarakat. Di sisi lain, tidak adanya konseptualisasi yang konsisten dan otoritatif terhadap welfare state juga membuat akademisi dan analis kebijakan cenderung lebih menggunakan istilah yang lebih presisi seperti kebijakan sosial (social policy) atau perlindungan sosial (social protection).

Walaupun demikian, David Garland menulis bahwa setidaknya terdapat tiga pandangan umum mengenai welfare state. Pertama, sebagai “welfare for the poor” atau program bantuan sosial untuk kelompok miskin. Kedua, sebagai “jaminan sosial, hak-hak sosial, atau layanan sosial.” Ketiga, sebagai bentuk “manajemen ekonomi dan peran negara atas perekonomian.” Bila yang pertama dan kedua melihat welfare state terbatas sebagai kebijakan sosial, pandangan ketiga memaknainya secara lebih luas, yakni sebagai peran negara dalam mengatur perekonomian secara keseluruhan dari mulai regulasi usaha, fiskal, moneter, pasar tenaga kerja, dan sebagainya.

Nathan memandang poin ketiga memiliki persoalan konseptual yang serius. Bila welfare state mencakup segalanya, maka hilanglah batasan konseptual yang jelas sehingga menjadi konsepsi totalitas atas masyarakat atau sistem ekonomi-politik. Perdebatan mengenai welfare state dapat menjadi rancu. Karena dianggap sebagai totalitas, maka ia juga bisa dianggap sebagai solusi segala masalah mulai dari kemiskinan, kerentanan ekonomi, ketimpangan sosial, ketidakbahagiaan, kesehatan mental, hingga kapitalisme laissez faire.

Alih-alih sebagai totalitas, makhluk yang kita sebut sebagai welfare state merupakan sebuah institusi sosial yang spesifik, dengan fungsi yang spesifik dan ditujukan untuk mengatasi permasalahan sosial yang juga spesifik. Bagi Nathan, welfare state terutama berupaya untuk mengatasi dua permasalahan yang selalu dihadapi oleh setiap individu, yakni life-cycle consumption financing problem dan cost of social reproduction financing problem.

Relevansi Welfare State dengan Kondisi Objektif dan Landasan Hukum di Indonesia

Konsep negara kesejahteraan awalnya dipromosikan oleh Paus Leo XIII dengan ensikliknya yang terkenal "Rerum Novarum" (Revolusi Baru) yang intinya mendorong agar negara mengambil peran aktif untuk melakukan promosi sosial kepada warganya agar terbebas dari penderitaan akibat perangai sistem kapitalisme yang sangat parah. Hal mana akhirnya menjadi dasar lahirnya Ajaran Sosial Gereja.

Esping Anderson (1990) menyebut negara kesejahteraan itu konsep yang mengacu pada peran negara yang aktif mengelola dan mengorganisir perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dalam tingkat tertentu bagi warganya. Pada intinya konsep negara kesejahteraan itu mengusulkan peranan negara sebagai instrumen kontrol sosial dan promotor umum yang diterjemahkan dalam program program riil seperti: jaminan sosial, pendidikan murah/ gratis, pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan lain lain.

Secara sosio historis, konsep negara kesejahteran memang cocok untuk negara Eropa dan terutama Eropa Barat. Negara Eropa pada masa itu memang sedang mengalami revolusi industri dan liberalisme yang kemudian menghasilkan residu kemanusiaan dan konflik domestik antara buruh (proletar) dan pemilik pabrik (borjuis). Lalu ditawarkanlah konsep Negara Kesejahteraan sebagai solusinya.

Dalam konteks Indonesia tentu berbeda dan kita tidak dapat mengadopsinya begitu saja. Kita mewarisi kesenjangan struktural akibat warisan kolonialisme dari negara negara negara Eropa. Kondisi kesenjangan struktural yang terjadi pada saat Indonesia dijajah Kolonial Hindia Belanda masih sama sampai hari ini. Kondisinya saat ini bahkan ditambah lebih buruk karena terjadinya kerusakan lingkungan yang masif. Sebut saja misalnya pembabatan hutan (deforestrasi) yang terjadi dalam tiga dekade terakhir sebagai yang tercepat di dunia.

Dualisme ekonomi yang diungkap oleh J.H Boeke juga masih sama. Struktur sosial ekonomi kita yang terdiri dari deret kemakmuran segelintir elit di atas dan rakyat miskin dan tepat di garis miskin lebih banyak masih menjadi gambaran fakta hari ini. Menurut laporan Suissie Credit tahun 2021, lembaga riset ini melaporkan bahwa orang dewasa di Indonesia itu 83 persennya hanya punya kekayaan rata rata di bawah Rp 150 juta rupiah. Sementara ratarata dunia adalah hanya 58 persen. Orang dewasa Indonesia yang kekayaanya di atas Rp 1,5 Milyar jumlahnya hanya 1,1 persen. Sementara rata-rata dunia adalah 10,6 persen.

Rasio Gini Kekayaan kita menurut laporan Suissie Credit adalah 0,77 dari skala 0 - 1. Dimana angka nol artinya semua kekayaannya sama rata dan angka satu itu ada di tangan satu orang. Lembaga Oxfarm tahun 2020 bahkan membuat laporan yang cukup dramatis. Kekayaan 4 anggota keluarga konglomerat kapitalis di Indonesia itu sama dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin. Ditinjau dari struktur pekak ekonomi rakyat kita masih sama. Dari total pelaku usaha yang ada, 99,6 persennya atau 64 juta adalah kelas usaha mikro. Sisanya adalah usaha kecil sebesar 138 ribu atau 0,35 persen dan usaha menengah sebesar 80,2 ribu atau 0,05 persen dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006 persen (Kemenkop dan UKM, 2021).

Usaha mikro yang ada adalah terdiri dari usaha gurem yang hidup segan mati sungkan. Jumlahnya hampir sama dengan jumlah kepala keluarga kita yang 67 juta. Dimana mereka dirikan usaha karena motivasi untuk sekedar bertahan hidup bukan menjadi wirausaha kaya raya seperti anak anak konlomerat. Mereka, rakyat kecil pun harus bersaing berdarah darah dengan sanak saudaranya memperebutkan kue ekonomi sisa remah remah usaha menengah dan besar. Sementara Posisi usaha menengah nya pun banyak didominasi oleh perusahaan quasi milik jaringan keluarga konglomerat atau anak anak perusahaan konglomerat besar.

Kita butuh transformasi struktural melalui jalan demokratisasi ekonomi, bukan mengadopsi sistem negara kesejahteraan. Sebab masalah utamanya adalah karena adanya konsentrasi kepemilikan, bukan soal alokasi fiskal untuk promosi sosial warga semata. Apalagi jika sumber fiskal kita itu ditopang oleh utang. Dimana posisi utang kita itu sudah cukup parah karena kemampuan membayar utangnya yang rendah dan memberatkan fiskal kita.

Posisi utang kita menurut Ekonom Awalil Rizky (2022) adalah sudah dalam posisi gali lobang buat jurang karena untuk membayar angsuran dan bunganya harus dibayar dengan utang. Sehingga disimulasikan, dengan kondisi fiskal yang ada saat ini diperkirakan pemerintah hingga tahun 2024 akan mewariskan utang sebesarnya Rp 10.000 triliun. Kondisi tersebut tentu bukan hanya akan menjebak generasi mendatang dengan ruang fiskal yang semakin sempit untuk mengalokasikan dana pembangunan, tapi kita akan benar-benar masuk dalam jebakan besar negara-negara global utara itu. Kita akan jadi sandera dan bulan-bulanan mereka dan jadi bangsa bayang-bayang selamanya.

Tanpa transformasi sosial ekonomi melalui jalan demokrasi ekonomi, sumber kekuasaan politik yang mempengaruhi kebijakan negara juga tidak akan berubah. Kuasa ekonomi akhirnya hanya berputar putar pada segelintir orang. Fakta ini juga diperkuat oleh hasil riset bahwa 87 keluarga miskin tidak mengalami perubahan nasib (Smeru, 2019). Keluarga miskin dalam posisi hasilkan kemiskinan baru dan terus berkelanjutan.

Mereka dapat terus mengatur dan mengontrol kekuasaan dan akhirnya monopoli bisnis di segala sektor. Fakta ini dapat kita lihat secara gamblang bagaimana keputusan keputusan negara itu dasarnya pada kepentingan konglomerat segelintir. Apa yang baik untuk pengusaha besar dianggap baik untuk negara dan masyarakat. Jika tidak dilakukan transformasi melalui jalan demokratisasi ekonomi dan hanya kembangkan konsep negara kesejahteraan maka sumber kekuasaan penting yang dipengaruhi oleh penguasaan asset nasional oleh elit kaya nasional yang berjejaring dengan elit kaya global dan berpatron dengan elit politik nasional maka wadagnya akan panggah.

Negara negara global utara itu juga paham betul bahwa jika sumber fiskal untuk membiayai semua program promosi sosial negara kesejahteraan itu sumbernya adalah dua: pajak dan utang. Jika pajak tidak tercapai atau rendah maka seluruh biaya itu akan dibebankan kepada sumber utang. Partai Buruh, yang semestinya menjadi partai progresif tentu harus berbeda dengan sikap Partai Golkar misalnya yang sudah terang terangan memperjuangkan tercapainya negara kesejahteraan (welfare state).

Partai Buruh juga semestinya belajar dari sejarah amandemen UUD 1945 tentang pasal pasal ekonomi yang berakhir dengan keluarnya almarhum Profesor Mubyarto dan Almarhum Prof Dawam Rahardjo karena kecewa terhadap anggota tim lainya seperti Sri Mulyani, Sri Adiningsih yang ngotot menganggap UUD 1945 itu interpretasinya sebagai negara kesejahteraan. Bukan demokrasi ekonomi.

Negara kesejahteraan itu adalah bagi negara-negara miskin dan berkembang ibarat buaian mimpi yang sengaja dihembuskan oleh negara negara global utara untuk dua tujuan utama. Kita dijebak untuk menaiki atap capaian kemajuan sosial ekonomi mereka dengan resep mereka. Negara-negara global utara yang telah berhasil mengeksploitasi negara selatan termasuk Indonesia di waktu diterapkanya liberalisme ekonomi sejak 1980-an, ingin bebankan kepada fiskal kita seluruhnya untuk selesaikan segala bentuk residu kemanusiaan dan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi mereka kepada kita. Mereka tidak mau rugi.

Negara-negara global utara sebagai pemberi utang melalui organisasi multilateralnya semacam International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (Wold Bank) itu memiliki maksud yang kuat untuk tetap dapat kendalikan negara-negara global selatan. Mereka akan menyuntikan utang di saat kita dilanda krisis ekonomi atau menjebak utang haram dengan komitmen untuk membangun infrastruktur yang sebetulnya adalah menjadi faktor pendukung (endorsement) bagi kepentingan investasi mereka di sektor komoditi ekstraktif seperti tambang, perkebunan monokultur, keuangan yang semuanya mereka kendalikan.

Negara Sri Lanka adalah contoh kegagalan itu. Negara ini telah terapkan konsep negara kesejahteraan dengan alokasi fiskal penuh untuk pendidikan gratis hingga ke perguruan tinggi, kesehatan gratis dan dana pensiun untuk warga negaranya itu saat ini telah menjadikan ekonomi dan politik negara itu porak poranda. Negara Sri Lanka yang baru baru ini mengalami krisis ekonomi dan politik hebat dan akhirnya terancam menjadi negara gagal adalah salah satu pelajaran penting bagi kita.

Dalam konteks ini, Schumacher, ekonom dan ahli statistik ini sampai-sampai katakan "andai saya disuruh kembali kuliah ke semester satu di fakultas ekonomi dan hanya disuruh memilih tiga mata kuliah: statistik, ekonometrika dan sejarah, maka saya akan memilih sejarah". Kenapa? Karena dia tahu, konsep ekonomi itu diterapkan memiliki konteks yang berbeda-beda di setiap negara. Tak dapat dijalankan sama di setiap negara. Ada latar sejarah, konteks sosial ekonomi dan politik serta budaya yang berbeda. Termasuk untuk Indonesia.

Kita tidak butuh negara kesejahteraan dan kita sudah punya sistem yang diperintahkan oleh UUD 1945 yaitu demokrasi ekonomi. Beberapa agenda yang penting dari demokratisasi ekonomi itu seperti; alokasi pendapatan minimum warga negara (universal basic income), kepemilikan saham untuk buruh (Employess Share Ownership Plan-ESOP) syukur hingga 51 persen seperti yang disampaikan Bernie Sanders waktu kampanye presidensi di Amerika, pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah karena kesenjangannya sudah keterlaluan hingga ada presiden direktur perusahaan itu terima gaji 2.200 kali dari gaji karyawannya dengan jabatan terendah, demokratisasi BUMN dan BUMD dalam kendali rakyat langsung, reforma agraria, hapus model kebijakan paket input yang hanya menyasar secara karitatif dalam kebijakan pengentasan kemiskinan, terapkan kebijakan subsitusi import untuk dukung sektor pangan dan energi, dan lain-lain.

Sekali lagi, welfare state atau negara kesejahteraan itu adalah jebakan baru negara-negara global utara. Tidak sesuai dengan Konstitusi kita dan yang pasti kita tidak ingin mencontoh negara Sri Lanka bukan?

Perubahan Demografis Indonesia

Menurut Jafar Suryomenggolo (2023) pola pembangunan terpepat memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi sehingga menimbulkan rasa percaya diri yang memuncak pada program “Indonesia Emas 2045”. Di atas kertas, Indonesia diyakini akan mampu menghindari middle-income trap dan menjadi negara maju, mulus seperti dalam Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 15 Juni 2023 lalu.

Di balik pertumbuhan ekonomi, pola pembangunan terpepat sesungguhnya tidak hanya menghambat perkembangan sosial masyarakat, tetapi juga mengubah susunan dan dinamika populasi Indonesia. Selama menempuh pembangunan ekonominya, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand mengalami perubahan demografis yang juga lebih cepat daripada yang dialami Eropa, Jepang, Korea, dan Taiwan. Dua tanda utamanya adalah menurunnya angka fertilitas (fertility rate) dan meningkatnya jumlah penduduk lajang.

Sejumlah kajian demografis Indonesia sudah mencatat bahwa pada 2020, angka fertilitas total (total fertility rate) beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia berada di bawah 2,1%. Ini berarti jumlah anak semakin sedikit untuk “menggantikan” orang tua daripada sebelumnya. Selama sepuluh tahun terakhir juga, jumlah penduduk lajang Indonesia mengalami kenaikan, sebagai akibat merebaknya pekerjaan serabutan dalam ekonomi gig. Seiring itu pula jumlah lansia meningkat. Oleh karena itu, akibat pembangunan terpepat, alih-alih menjadi negara maju, Indonesia mungkin malah mengalami fenomena menua sebelum menjadi kaya (getting old before getting rich).

Serikat Buruh yang (Di)Kerdil(kan)

Sejak Reformasi 1998, Indonesia telah meratifikasi sejumlah Konvensi ILO, termasuk yang menjamin kebebasan berserikat. Meski begitu, kondisi-kondisi objektif di lapangan mempersulit buruh untuk mendirikan organisasi di tempat kerjanya. Hal ini mencakup kriminalisasi pengurus serikat buruh, makin merebaknya sistem kerja kontrak dan outsourcing, dan individualisasi dunia kerja akibat perkembangan teknologi informatika

Organisasi serikat buruh sesungguhnya punya andil dalam penyusunan kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang disahkan pada 2004. Tetapi di dalam perkembangannya, serikat buruh dihadapkan pada berbagai tantangan struktural akibat pembangunan terpepat, yang memuncak dengan terbitnya Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sementara itu, gerak langkah Partai Buruh–yang digadang-gadang akan menjadi lengan politik gerakan buruh–pun belum pasti.

Apakah ada jalan keluar? Dari kasus Prancis, buruh gig memperoleh jaminan upah minimum, yang menjadi syarat perlindungan bagi mereka yang rentan mengalami eksploitasi. Di Indonesia, buruh gig masih mengalami kendala pengorganisasian sebab banyak serikat buruh kita, sayangnya, masih mengutamakan kepentingan buruh tetap. Membangun “oposisi sosial” mungkin bisa menjadi dasar untuk memperluas dan memperkuat simpul-simpul gerakan sosial yang selama ini cenderung terfragmentasi dan tersebar di banyak daerah. Namun begitu, dalam konteks pembangunan terpepat, aliansi gerakan sosial perlu punya agenda-agenda progresif, termasuk pajak atas harta warisan yang selama ini terbengkalai. Ini untuk menjamin agar agenda perlindungan sosial tetap bisa berjalan terlepas dari partai apa pun yang menjadi penguasa. Oleh karena itu, kita perlu bersama-sama membangun gerakan sosial yang mandiri.

Menuju NKRI = Negara Kesejahteraan Republik Indonesia?

Negara kesejahteraan tidak eksplisit dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar kita. Namun, sila keadilan sosial adalah amanat pendiri bangsa. Amanat tersebut perlu terus disuarakan, dipikirkan, dan diwujudkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya guna menjamin penghidupan kita bersama dalam menghadapi dampak-dampak pembangunan terpepat yang selama ini ditempuh pemerintah kita, tanpa toleran, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kita boleh menengok Prancis sebagai model negara kesejahteraan, tapi pelajaran terpenting justru dari Tiongkok: kegagalan membangun sistem perlindungan sosial akan mendorong kegelisahan sosial yang sulit dibendung.

 

Sumber :

1. Alnick Nathan. IndoProgress. 2023. Kenapa Kita Membutuhkan Welfare State. https://indoprogress.com/2023/06/kenapa-kita-membutuhkan-welfare-state/ (diakses pada 15 Februari 2024)

2. Suroto. Warta Koperasi. 2023. Melawan Welfare State. http://wartakoperasi.net/melawan-welfare-state-detail-446490.html (diakses pada 15 Februari 2024)

3. Jafar Suryomenggolo. IndoProgress. 2023. Negara Kesejahteraan Bukan Hadiah Elite, Maka Kita Perlu Tahu Aral Mewujudkannya. https://indoprogress.com/2023/07/tantangan-mendirikan-negara-kesejahteraan/ (diakses pada 15 Februari 2024)


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url