Meninjau Peranan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia

 

Oleh : Bon Bon Yesita Putri

Kepala Bidang Pemberdayaan Wanita SAPMA PP Komisariat UNTIRTA 2023-2024

Agitasi-Pedia Februari 2024 - Kekerasan Seksual (SAPMA PP UNTIRTA).pdf

Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus mengalami peningkatan terutama sejak awal pandemi. Hal itu berdampak pada kualitas kesetaraan gender yang masih harus ditingkatkan demi terciptanya ruang aman bagi perempuan yang sering menjadi korban. Kekerasan terhadap perempuan meningkat drastis di era pandemi, tercatat ada 2.500 kasus yang dilaporkan pada tahun 2021 sebagaimana dikutip Plain Feminism dari Komnas Perempuan. Angka itu jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 2.300 kasus. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapati kasus kekerasan seksual terhadap anak paling dominan terjadi di tahun 2023. Sampai tanggal 31 Desember 2023, sebanyak 3.000 kasus kekerasan terjadi pada anak.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dalam periode 1 Januari-27 September 2023 ada 19.593 kasus kekerasan yang tercatat di seluruh Indonesia. Angka tersebut merupakan jumlah kasus real time pada periode pembaruan data pukul 14.35 WIB. Data dihimpun melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Dari seluruh kasus kekerasan tersebut, 17.347 orang korban merupakan perempuan, dan 3.987 korban berjenis kelamin laki-laki. Adapun berdasarkan usianya, korban kekerasan di Indonesia didominasi oleh kelompok usia 13-17 tahun, jumlahnya mencapai 7.451 korban atau sekitar 38% dari total korban kekerasan pada periode ini. Korban terbanyak berikutnya berasal dari kelompok usia 25-44 tahun, diikuti kelompok usia 6-12 tahun, usia 18-24 tahun, dan usia 0-5 tahun. Kemen-PPPA juga menemukan, jenis kekerasan yang paling banyak dialami korban berupa kekerasan seksual, yaitu sebanyak 8.585 kasus, diikuti kekerasan fisik 6.621 kasus, dan kekerasan psikis 6.068 kasus.

Grafik Kasus Kekerasan Seksual Sepanjang Tahun 2023

Kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang harus diakhiri sebagaimana yang diupayakan oleh para aktivis kemanusiaan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Mengutip dari Savy Amira, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang dikenakan pada seseorang semata-mata karena dia perempuan yang berakibat atau dapat menyebabkan kesengsaraan/penderitaan secara fisik, psikologis atau seksual.

Kekerasan terhadap perempuan menurut Pasal 1, Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993, termasuk juga ancaman perbuatan tertentu berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di muka umum maupun dalam kehidupan pribadi. Berdasarkan definisi tersebut, kekerasan terhadap perempuan muncul karena adanya ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan serta konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi di bawah laki-laki atau harus tunduk di bawah kuasa laki-laki (subordinasi). Kondisi demikian kita kenal juga dengan istilah konstruksi patriarki.

Konstruksi patriarki bisa menyebabkan banyak tindakan kekerasan terhadap perempuan yang sering dianggap wajar oleh para pelaku, salah satunya adalah toxic masculinity (sifat maskulin yang dilebih-lebihkan). Patriarki secara harfiah mempunyai arti kekuasaan bapak, yaitu kekuasaan laki-laki dalam sistem keluarga yang menguasai seluruh anggota keluarga, si istri, anak-anak dan bahkan para pelayan rumah tangga harus tunduk pada laki-laki sebagai kepala keluarga. Seiring berjalannya waktu, patriarki menjadi budaya yang mendarah daging di berbagai lini kehidupan yang dianggap wajar oleh masyarakat melalui bermacam-macam cara termasuk tradisi lokal. Pada akhirnya, memunculkan hubungan kuasa laki-laki yang menganggap bahwa menguasai dan menundukkan perempuan adalah kewajiban dan hak seorang laki-laki.

Sedangkan toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu, seperti tuntutan untuk tidak boleh menangis, menunjukkan emosi sedih dan mengeluh, serta menganggap bahwa laki-laki hanya boleh mengekspresikan keberanian dan amarah. Dikutip Plain Feminism dari Jurnal Perempuan, fakta menunjukkan bahwa 99 % pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Selain itu, mereka yang melakukan kekerasan terhadap perempuan sering kali mengaku tidak mendukung tindakan tersebut.

Selain perjuangan yang dilakukan kaum perempuan untuk mengupayakan kesetaraan gender, peran laki-laki yang aktif dan konsisten untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan juga penting demi terwujudnya cita-cita feminisme berupa kesetaraan hak manusia di ruang publik tanpa memperhatikan gender seseorang. Menurut Nur Iman Subono, laki-laki umumnya terbagi menjadi tiga golongan dalam memilih posisinya terkait isu kekerasan terhadap perempuan. Pertama, laki-laki sebagai pelaku kekerasan yang berbasis gender. Kedua, laki-laki bukan sebagai pelaku, tapi diam dan bersikap pasif (silent majority) terhadap kekerasan yang dialami perempuan, pada akhirnya, cenderung membiarkan dan membolehkan kekerasan terhadap perempuan. Ketiga, laki-laki sebagai yang menentang berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mengajak berbagai pihak, khususnya laki-laki untuk berbuat hal yang sama (vocal minority).

Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, laki-laki dianjurkan mengambil posisi yang ketiga karena kesetaraan gender akan terwujud jika laki-laki ikut bertanggung jawab atas bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan baik dalam rumah tangga atau kehidupan masyarakat.

Peran Laki-laki dalam Upaya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan

Peran laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan feminisme bagi laki-laki dan mengajak mereka untuk lebih aktif mendukung dan melakukan nilai-nilai kesetaraan gender baik di ruang publik maupun hubungan rumah tangga. Peran laki-laki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan menjadi penting karena statusnya dalam budaya patriarki mendapatkan privilege (hak istimewa) berupa kekuasaan dan dominasi.

Menjadi laki-laki feminis berarti berupaya untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan sekaligus menyuarakan bahwa status privilege dalam budaya patriarki selama ini adalah salah dan perlu adanya pengaturan serta pemolaan ulang peran-peran sosial dan rumah tangga yang berbasis kesetaraan gender. Upaya laki-laki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan menjadi laki-laki feminis yang bekerja sama dengan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui kampanye dan edukasi secara konsisten.

Di Indonesia, sudah ada gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kaum laki-laki untuk meningkatkan kesadaran laki-laki terhadap kekerasan yang dialami perempuan dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan gender. Salah satunya adalah Aliansi Laki-Laki Baru (ALB), sebuah gerakan yang memiliki kepentingan untuk mencegah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta kelompok minoritas lainnya dengan cara mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender kepada masyarakat terutama kepada kelompok laki-laki.

Peran laki-laki untuk mewujudkan kesetaraan gender bisa dilakukan dengan mengupayakan pemaknaan ulang terhadap konstruksi sosial yang ada, laki-laki harus terlibat langsung dengan melakukan komunikasi kepada masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai feminisme serta bergabung dengan gerakan-gerakan yang menolak kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, peran laki-laki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan juga bisa dilakukan secara persuasif dengan cara membiasakan diri untuk memilih kata-kata secara sensitif gender dalam kehidupan sehari-hari kita, kata-kata seperti jablay dan lainnya yang merendahkan perempuan harus dihindari.

Dengan begitu, kekerasan terhadap perempuan bisa diakhiri dengan adanya laki-laki feminis yang mendengarkan, mendukung dan merealisasikan pikiran-pikiran perempuan untuk menghilangkan hubungan yang timpang baik dalam kehidupan sosial ataupun keluarga yang sering merugikan posisi perempuan. Hubungan yang timpang dalam kehidupan sosial bisa berupa pembatasan perempuan untuk menjadi pemimpin baik di lembaga swasta maupun pemerintah, cowok yang mendominasi dalam pacaran karena alasan kekuatan fisik dan kejantanan, sedangkan dalam kehidupan keluarga bisa berupa perampasan hak memilih untuk berkarir dan melanjutkan pendidikan karena harus tunduk pada perintah ayah atau suami, pembenaran pernikahan dini demi tujuan status sosial yang merugikan dan mengekang perempuan.

Yang perlu diperhatikan, Jangan sampai 99 % laki-laki yang merupakan pelaku kekerasan, kita sudutkan sebagai musuh secara membabi-buta, tapi juga memposisikan mereka sebagai partner untuk merubah budaya dan sudut pandang, karena baik laki-laki dan perempuan adalah sama-sama korban budaya patriarki. Menurut Nur Hasyim, pendiri Aliansi Laki-Laki Baru, lakilaki sebagai pelaku kekerasan perlu mendapatkan hukuman peradilan dan proses rehabilitasi seperti mendapatkan panduan perubahan perilaku serta mengajarkan bahwa tindakannya berdampak buruk bagi kehidupan sosial.

Laki-laki juga bisa ikut andil dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan cara membiasakan diri untuk memilih kata-kata secara sensitif gender dalam kehidupan seharihari. Jangan menggunakan kata-kata yang merendahkan dan melecehkan perempuan karena itu termasuk ke dalam kekerasan verbal serta aktif mengampanyekan hal ini ke sekitar. Kehadiran laki-laki yang berperspektif feminis diharapkan bisa menjadi teman yang mampu mendengarkan, mendukung, melindungi, dan memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga secara berkelanjutan kekerasan terhadap perempuan dapat berakhir dan terhapuskan.

Setiap anak yang baru lahir juga tidak pernah meminta untuk dididik dalam sistem dan budaya patriarki, maka mengakhiri kekerasan terhadap perempuan adalah tugas kita bersama. Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan demi terwujudnya kesetaraan gender yang merupakan cita-cita feminisme, kita harus memberikan edukasi dan menyuarakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki adalah sama-sama sebagai agen moral yang bernalar.

Agen moral yang bernalar harus bekerja sama mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan berbagi peran dalam ruang publik seperti kepemimpinan, dalam keluarga seperti mengurus anak, mencuci dan memasak, serta dalam hal naluriah sebagai manusia seperti menangis dan memiliki sifat atau perasaan yang lembut. Bukankah kita sama-sama diciptakan sebagai manusia yang bisa berpikir dan merasakan cinta?

 

Sumber :

1. Hafidin. Bakti News. 2022. Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan, Bagaimana Laki-Laki Berperan Mewujudkan Kesetaraan Gender? https://baktinews.bakti.or.id/artikel/mengakhiri-kekerasan-terhadap-perempuan-bagaimana-laki-laki-berperan-mewujudkan-kesetaraan (diakses pada 15 Februari 2024)

2. Dedi Hidayat. RRI. 2024. Kekerasan Seksual Anak Capai 3.000 Kasus di 2023. https://www.rri.co.id/nasional/500834/kekerasan-seksual-anak-capai-3-000-kasus-di2023#:~:text=KBRN%2C%20Jakarta%3A%20Komisi%20Perlindungan%20Anak,kasus%20kekerasan%20terjadi%20pada%20anak (diakses pada 15 Februari 2024)

3. Nabilah Muhamad. Databoks. 2023. Ada 19 Ribu Kasus Kekerasan di Indonesia, Korbannya Mayoritas Remaja. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/27/ada-19-ribu-kasus-kekerasan-di-indonesia-korbannya-mayoritas-remaja (diakses pada 15 Februari 2024)

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url