Menilik Arah Pendidikan Indonesia dalam RUU Sisdiknas 2022"

 

Oleh : Muhammad Giri Ainul Yaqien

Sekretaris Jenderal SAPMA PP Komisariat UNTIRTA

Agitasi-Pedia Januari 2024 - Pendidikan (SAPMA PP UNTIRTA).pdf

A. RUU Sisdiknas Tetap Mempersulit Akses ke Pendidikan Tinggi

Tuntutan pekerjaan di pasar global sekarang membutuhkan orang yang mengenyam bangku pendidikan dan dengan berbagai keterampilan. Kondisi ini membuat lulusan perguruan tinggi lebih diminati oleh perusahaan besar (Handayani, 2015). Namun, data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pada tahun 2022 menunjukkan jumlah penduduk di Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan tinggi hanya 6,41%.

Salah satu faktor eksternal tidak melanjutkan kuliah ialah persoalan biaya. Hal ini tidak lepas dari praktik liberalisasi. Pendidikan dibebaskan sebagai tanggung jawab negara dan diserahkan kepada pasar. Negara hanya sebagai fasilitator dengan regulasinya. Swasta memiliki tujuan profit dan pendidikan bagi mereka sekadar barang dagangan. Bahkan Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH) juga perlahan meniadakan keterlibatan negara dalam pembiayaan (Rizky, 2020). Akhirnya, pendidikan tidak menjadi hak yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua masyarakat.

Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang terakhir dipublikasikan pada Agustus 2022, dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 tapi mungkin masuk lagi tahun depan, tak menyelesaikan masalah. Darmaningtyas, aktivis pendidikan dari Tamansiswa, menilai RUU Sisdiknas segregatif, komersial, liberal, dan etatis. RUU Sisdiknas justru semakin kental konsep liberalisasi–yang sudah muncul sejak rezim Orde Baru.

Latar Belakang Kemunculan Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi berarti menghapus peran negara untuk memperlancar perdagangan walaupun pada akhirnya mengorbankan kesejahteraan sosial. Liberalisasi diatur dalam Washington Consensus yang memuat 10 resep kebijakan ekonomi, yaitu:

1. Disiplin fiskal;

2. Penataan kembali prioritas pengeluaran publik;

3. Reformasi pajak;

4. Liberalisasi suku bunga;

5. Nilai tukar yang kompetitif;

6. Liberalisasi perdagangan;

7. Liberalisasi investasi asing langsung masuk ke dalam;

8. Privatisasi;

9. Deregulasi; dan

10. Perlindungan hak milik.

Sepuluh poin tersebut bisa dikategorikan lagi ke dalam tiga asas dasar, yaitu deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Poin-poin tersebut pada akhirnya menyebabkan pasar terbuka seluas-luasnya dan bergerak sebebas-bebasnya, termasuk di sektor pendidikan. Konsensus ini ditawarkan sebagai obat penyembuh bagi Indonesia yang mengalami krisis moneter sejak tahun 1997 oleh International Monetary Fund (IMF).

Selain itu, Indonesia juga bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995 sehingga harus menandatangani General Agreement on Trade in Service (GATS). Implementasi GATS adalah meliberalisasi sejumlah sektor jasa, termasuk pendidikan.

Tapi Orde Baru sudah mulai melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendidikan jauh sebelum dua peristiwa di atas. Dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan tidak hanya tanggung jawab negara, tapi juga peserta didik atau keluarganya.

Sejarah Ongkos Perguruan Tinggi

Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga berhak mendapatkan pendidikan. Tidak heran jika di era awal masa kemerdekaan, kebijakannya adalah pendidikan tidak dipungut biaya. Sejak tahun 1950, pemerintah membuat program wajib belajar yang bebas dari pungutan dari SMP, SMA, universitas, dan sekolah calon guru. Bahkan dibangun perumahan untuk dosen dan asrama bagi mahasiswa. Para mahasiswa diberikan akses pendidikan gratis apabila mau bekerja pada pemerintah atau perusahaan yang ditunjuk selama tiga tahun berturut-turut, yang diatur melalui UU No. 8 tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Dewan Penempatan Sarjana. Di era Soekarno memang pendidikan tidak sepenuhnya gratis karena masih ada syarat harus mengabdi. Namun hal tersebut menjadi tahap awal yang bagus bagi negara baru merdeka dan memiliki masalah dari segi ekonomi dan politik.

Pergantian kekuasaan tidak hanya ditandai dengan pembantaian terhadap gerakan kiri namun juga kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Di tahun 1968, Soeharto mencabut seluruh PP yang dikeluarkan Soekarno. Akibatnya, subsidi di sektor pendidikan mulai berkurang. Soeharto juga membebani masyarakat dengan biaya belajar lewat Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) melalui UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Soeharto hanya tidak membuat masyarakat bertanggung jawab atas biaya pendidikan, namun juga mengubah pendidikan menjadi komoditas dagang karena menyetujui GATS dari WTO. Soeharto, singkatnya, menghancurkan fondasi kebijakan biaya pendidikan yang berpihak kepada rakyat.

Lengsernya Soeharto tidak menyelesaikan masalah tingginya biaya perguruan tinggi. Di era ini muncul uang pangkal yang dikelola secara otonom untuk pengembangan kampus. Hal ini membuat adanya dua biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa, yaitu SPP dan uang pangkal. Ada juga pungutan lain seperti biaya KKN, wisuda, dan sebagainya. Akhirnya, pada tahun 2013, dikenalkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang membuat uang pangkal, SPP, dan pungutan lainnya menjadi satu. Namun, dalam perkembangannya, melalui permendikbud ataupun permenristek yang dikeluarkan berkali kali dari tahun 2013-2022, pungutan seperti uang pangkal dan biaya praktik dilonggarkan kembali. Bahkan “jalur mandiri” yang dikenal sebagai jalur mahal diperbolehkan menerima sampai 50% dari total kuota.

Dari uraian singkat ini dapat dilihat bagaimana perkembangan kebijakan akses pendidikan, dari yang awalnya cenderung terjangkau lalu dihancurkan dan bertahan sampai sekarang. Bersamaan dengan itu, sudah banyak gerakan yang menolak liberalisasi pendidikan. Namun, tuntutan tidak didengarkan dan negara justru ingin mengeluarkan UU Sisdiknas baru yang masih mencerminkan kebijakan lepas tanggung jawab.

Lepasnya Tanggung Jawab Negara

Berikut beberapa garis besar mengapa RUU Sisdiknas tetap saja bermasalah:

1. Biaya Pendidikan

Negara semestinya memiliki tanggung jawab besar untuk mengalokasikan dana yang cukup pendidikan. Dalam pasal 8 RUU Sisdiknas (versi terakhir, Agustus 2022), diamanatkan minimal 20% APBN untuk kebutuhan biaya pendidikan. Sementara pasal 5 menjelaskan bahwa pendidikan bersifat inklusif, artinya siapa pun bisa mengakses pendidikan. Dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas, disebutkan bahwa prinsip inklusif sejalan dengan prinsip UNESCO, yaitu tidak memandang gender, kondisi fisik, dan anak dalam kondisi rentan. Inklusif yang dimaksud tidak termasuk inklusivitas dalam hal ekonomi. Negara seolah melindungi hak asasi masyarakat, namun tidak dalam hal ekonomi di pendidikan. Masyarakat diberikan tanggung jawab menanggung biaya pendidikan. Berkali-kali disebut bahwa masyarakat juga bertanggung jawab atas pendidikan, dan di antaranya eksplisit dalam hal pendanaan. Hal tersebut tertuang dalam:

Pasal 13

Pasal 14, ayat 1 & 2

Pasal 16

Pasal 58

Pasal 61, ayat 1

Pasal 106, ayat 2

Pasal-pasal tersebut membolehkan negara atau institusi pendidikan melemparkan tanggung jawab pembiayaan (biaya masuk maupun pengembangan universitas) ke masyarakat. Orang tua ataupun individu yang ingin melanjutkan pendidikan terutama ke perguruan tinggi baik itu negeri mapun swasta harus mengeluarkan uang baik melalui UKT, SPP, uang pangkal, dan uang tambahan yang dikeluarkan saat mengembangkan pengetahuan baik melalui praktikum, magang, penelitian, seminar, dan sebagainya. Akibatnya tidak semua masyarakat bisa mengakses pendidikan terutama pendidikan tinggi karena faktor ekonomi. Ini semua membuktikan “inklusif” yang dimaksud di RUU Sisdiknas tidak mengikut sertakan aspek ekonomi.

Pelaksanaan Institusi Pendidikan. Negara tidak hanya melepaskan tanggung jawab terhadap biaya pendidikan, namun juga penyelenggaraan institusi pendidikan itu sendiri dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Hal ini sejalan dengan GATS yang membuat pendidikan menjadi salah satu sektor yang diperjualbelikan secara bebas. Tentu saja konsekuensinya adalah, biaya pendidikan yang ditentukan oleh swasta baik individu ataupun organisasi berbadan hukum lebih mahal (Leonard, Meek, & Rose, 1960).

Banyak sekali pasal di RUU Sisdiknas yang menjelaskan bahwa masyarakat baik melalui individu maupun organisasi berbadan hukum bisa membuat institusi pendidikan, yaitu:

Pasal 15, ayat 1

Pasal 22, ayat 1 & 2

Pasal 40, ayat 1 & 6

Pasal 48, ayat 1 & 2

Pasal 65, ayat 2

Pasal 68, ayat 3

Walau dalam pembangunan institusi pendidikan diharuskan dengan prinsip nirlaba, termasuk yang swasta, namun yang terjadi tetap saja biaya pendidikan yang ditetapkan mereka lebih mahal karena harus mencari sendiri. Uang dari peserta didik menjadi tumpuan utama.

2. PTN menjadi PTN-BH

Liberalisasi dimulai ketika pendidikan tinggi didesentralisasi melalui sistem Badan Hukum Milik Negara (BHMN). BHMN pada praktiknya memberatkan masyarakat. Sistem BHMN tidak berpihak kepada keluarga yang tidak mampu karena biaya pendidikan menjadi lebih tinggi. Sebabnya adalah pemerintah mengurangi subsidi ke perguruan tinggi yang memiliki status tersebut. Ini adalah langkah awal komersialisasi institusi pendidikan (Welch, 2006).

Perguruan Tinggi BHMN akhirnya berubah menjadi PTN-BH melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Spirit lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikan semakin kuat melalui transformasi ini. Hal tersebut sangat terlihat di “jalur mandiri”, di mana kuotanya bisa mencapai 50%, diatur lewat Permendikbud No. 48 tahun 2022. Jalur mandiri dikenal sebagai jalur yang hanya bisa diakses oleh orang dengan ekonomi tinggi karena mengharuskan pembayaran uang pangkal serta UKT yang lebih tinggi dibandingkan jalur lain, yaitu SNBP (undangan) dan SNBT (tes).

Tidak semua PTN di Indonesia adalah PTN-BH. Namun, Pasal 141 RUU Sisdiknas mengatur agar seluruh PTN menjadi PTN-BH. Akibatnya, kampus akan lebih sering dan banyak mencari dana sendiri. Maka uang kuliah akan semakin mahal, jalur mandiri semakin dibuka lebar, dan seterusnya.

Pendidikan adalah aspek yang penting bagi kehidupan masyarakat, namun negara semakin lepas tanggung jawab, dan yang terkini melalui RUU Sisdiknas. Liberalisasi pendidikan ini pun tidak lepas dari pengaruh global dengan kebijakan GATS di WTO, di mana Indonesia tergabung sebagai anggota.

Ketika negara lepas tangan atau liberalisasi pendidikan terus dijalankan, konsekuensinya adalah dikorbankannya kesejahteraan sosial. Masyarakat dengan ekonomi lemah akan sangat terdampak karena biaya pendidikan semakin mahal. Mereka tidak bisa mengenyam pendidikan seperti masyarakat ekonomi menengah ke atas, yang juga mengakibatkan ketimpangan semakin tinggi. Orang-orang yang tetap dapat berkuliah meski kurang mampu mungkin akan bekerja demi tetap melanjutkan studi, tapi tentu waktu untuk belajar dan istirahat berkurang.

B. UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme

Pada tanggal 13 Juli 2012, pemerintah mengesahkan sebuah UU yang mengatur pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia: UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU Dikti). UU yang telah dibahas sejak 2010 (setelah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum –selanjutnya disebut UU BHP—Pendidikan dibatalkan) ini akhirnya disahkan, walau menghadapi berbagai penolakan publik, terutama dari civitas perguruan tinggi.

Pemerintah mengklaim bahwa UU Pendidikan Tinggi dibuat untuk ‘memulihkan kondisi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang telah memiliki otonomi.’ Dalam naskah akademik Rancangan UU tersebut, pemerintah menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing dalam interaksi global, perlu adanya perguruan tinggi yang sehat, bermutu, otonom, dan maju. Untuk itulah, UU Pendidikan Tinggi diperlukan agar pendidikan tinggi dapat memenuhi keinginan pemerintah sebagai ‘sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa.’

Tulisan ini mencoba untuk memberikan rasionalisasi mengapa mahasiswa harus bergerak untuk melakukan perlawanan dari isu pendidikan tinggi. Berkaca pada gerakan mahasiswa di Montreal, Santiago, hingga London beberapa tahun terakhir, sudah saatnya perlawanan mahasiswa lebih dipertajam pada isu pendidikan yang akan mencetak lulusan calon ‘pekerja’ di era kapitalisme global ini.

Reformasi Pendidikan Tinggi

Jerat kapitalisme pendidikan ditampilkan melalui sebuah wacana yang cukup ‘menyilaukan’ bagi birokrat pendidikan di Indonesia: Reformasi Pendidikan Tinggi. Berbagai kampus dan birokrat pendidikan seakan berlomba mengadopsi wacana ini dalam pengelolaan perguruan tinggi di kampus masing-masing.

Reformasi Pendidikan Tinggi (Higher Education Reform) menjadi isu yang sangat krusial di Indonesia pasca-1998. Jika ditarik pada level global, isu ini juga menjadi isu yang berkembang di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya (Mok, 2010), serta Afrika (Mamdani, 2007). Wacana yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan WTO ini menjadi rujukan banyak negara untuk melakukan perubahan-perubahan aturan tentang pendidikan tinggi di negara mereka, yang pada intinya melakukan pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar.

Perubahan peran negara atas dalih ‘reformasi pendidikan tinggi’ yang menjadi agenda pemerintah pasca-reformasi ini, sebenarnya telah dikampanyekan oleh Bank Dunia dan WTO sejak tahun 1994. Jika menelaah UU Pendidikan Tinggi secara seksama, kooptasi kepentingan lembaga keuangan internasional tersebut berlangsung secara diskursif, dengan memainkan pasal-pasal yang berada di dalamnya, serta memberikan proyek-proyek kepada pemerintah untuk menginjeksikan logika pasar bebas dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Reformasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai dari adanya proses pemberian otonomi pada tujuh institusi pendidikan tinggi negeri di Indoesia. Proses otonomi tersebut sudah dimulai sejak munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (PP No.61/1999). Konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dilandasi oleh PP No. 61/1999 ini memberikan otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berubah menjadi BHMN (Nalle, 2011: 565). Beberapa perguruan tinggi yang memperoleh status otonomi tersebut antara lain UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair.

Dari PP 61/1999 tersebut, lahirlah serangkaian Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar hukum (Statuta) dari PP BHMN tersebut pada tahun 2000. Pada tahun 2003, menyusul disahkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pada pasal 53 ayat 1 UU tersebut, diperkenalkanlah terminologi ‘Badan Hukum Pendidikan’ (Nalle, 2011: 565-566). Terminologi ini kemudian diacu pada UU berikutnya tentang badan hukum pendidikan.

UU Sisdiknas yang lahir dalam perdebatan panjang tersebut kemudian disusul oleh lahirnya UU Baru yang melegalkan otonomi tersebut, yaitu UU Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU yang sudah dibahas sejak 2006 tersebut memicu kontroversi terutama dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil.

Namun, pada tahun 2010, pemerintah mengajukan satu UU baru yang menggantikan UU BHP tersebut: rancangan UU Pendidikan Tinggi. UU tersebut mengatur beberapa hal yang telah dibatalkan dari UU sebelumnya. Kendati direspons dengan berbagai penolakan, UU ini terus saja bergulir dan mencapai klimaksnya ketika disahkan DPR pada tanggal 13 Juli 2012. Upaya pencabutan segera dinyatakan oleh beberapa BEM dan masyarakat sipil yang beraliansi dalam Komite Nasional Pendidikan.

Mengapa Menolak UU Pendidikan Tinggi?

Namun demikian, animo gerakan mahasiswa untuk bergerak dan merespons persoalan ini cukup minim. Isu-isu seperti Century atau Penggulingan rezim masih lebih marak terjadi. Bukannya menganggap isu itu tidak penting, tetapi masa depan pendidikan juga penting untuk disikapi, direspons, dan diselamatkan nasibnya. Ada beberapa argumentasi yang saya ajukan untuk menjadi dasar, menolak UU ini.

Alasan Pertama: Penetrasi Kapitalisme Global. Semangat dan substansi UU Pendidikan Tinggi masih tidak bisa lepas dari kooptasi kepentingan lembaga keuangan internasional. Ada dua wacana (discourse) besar yang cukup hegemonik dalam pembangunan pendidikan tinggi di negara-negara dunia ketiga, yaitu ‘globalisasi pendidikan tinggi’ yang dikampanyekan oleh WTO dan ‘reformasi Pendidikan Tinggi’ yang dikampanyekan oleh Bank Dunia. Dalam ‘perjanjian GATS ditandatangani pada tahun 1994, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. GATS dan kebijakan-kebijakan WTO tersebut didesain untuk ‘membuka pintu kerjasama internasional perguruan tinggi sehingga membuka keran investasi’ (Hawkins, 2010: 40).

Sementara itu, Bank Dunia melakukan penetrasi agenda ‘higher education reform’ sejak dokumen policy framework-nya yang berjudul ‘Higher Education: Lessons of Experience’ dan diterbitkan pada tahun 1994. Agenda ‘reformasi’ tersebut dapat disarikan ke dalam 4 hal: Pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT; kedua, mendorong diferensiasi pendanaan dari publik; ketiga, mendefinisi ulang peran pemerintah; dan keempat, fokus pada kualitas, performativitas, dan persamaan (World Bank, 1994).

Pada laporannya yang terbaru di Asia (‘Putting Higher Education to Work’), Bank Dunia (2012: 94-95) merekomendasikan pembiayaan yang efisien dan punya prioritas agar alokasi sumber daya yang digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi dapat mengatasi market failure (2012: 101). Di sektor manajerial, Bank Dunia merekomendasikan otonomi seiring pembiayaan yang efisien (2012: 127). Sementara di level pekerjaan, Bank Dunia sangat merekomendasikan pengelolaan perguruan tinggi yang punya link and match dengan sektor privat (2012: 147).

Di UU pendidikan Tinggi, kooptasi wacana pembangunan dari dua lembaga ini terlihat dalam beberapa pasal: Pasal 48 (Kerjasama penelitian dengan industri dan dunia usaha), pasal 65 (wewenang PTN Badan Hukum untuk mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi), pasal 85 (pembiayaan pendidikan tinggi oleh mahasiswa), pasal 86 (insentif kepada dunia usaha untuk membiayai pendidikan tinggi), pasal 87 (hak mengelola kekayaan negara), pasal 88 (standar satuan biaya operasional pendidikan), pasal 89 (pendanaan PTN Badan Hukum), dan yang paling mencolok, pasal 90 (penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PT negara lain).

Kooptasi wacana pembangunan tersebut bersifat diskursif. Jika mempelajari Naskah Akademik perumusan UU PT ini, pemerintah menyatakan bahwa ‘untuk meningkatkan daya saing dalam interaksi global, perlu adanya perguruan tinggi yang sehat, bermutu, otonom, dan maju.’ Rumusan naskah akademik ini jelas menyiratkan discourse globalisasi yang ditawarkan WTO dan Bank Dunia. Kata kunci ‘daya saing’ (dalam key framework Bank Dunia: competitiveness) mengantarkan UU PT pada discourse tentang reformasi pendidikan tinggi yang liberal, pro-pasar, serta lepas dari campur tangan negara.

Alasan Kedua: Persoalan ‘Badan Hukum’. UU Pendidikan Tinggi ini masih memilah perguruan tinggi dalam ‘Badan Hukum’ dan Menyajikan Otonomi. Pasal 65 telah menyatakan hal tersebut dengan gamblang. Konsekuensi dari Pasal 65 ini adalah memberikan hak istimewa pada PTN Badan Hukum, di antaranya hak mengelola dana, mengangkat dosen sendiri, atau mendirikan badan usaha dan mengelola dana abadi (pasal 65).

Dalam amar putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU tentang pembatalan UU BHP, terlihat jelas bahwa konsep ‘Badan Hukum’ yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dimaksud bukanlah nama atau bentuk hukum tertentu, melainkan fungsi penyelenggaraan pendidikan. Jika yang dimaksud adalah ‘Badan Hukum’ secara kelembagaan, konsekuensnya masih akan sangat memungkinkan PTN melakukan praktik komersialisasi dan liberalisasi, di antaranya melalui pendirian badan usaha ataupun kerjasama industri. Hal lain yang bermasalah -dan ini dialami oleh kawan-kawan pekerja di Universitas Indonesia- yaitu praktik outsourcing dan ketidakjelasan status pegawai.

Poin berikutnya adalah soal otonomi. Dalam naskah akademik perumusan UU PT, pemerintah menyebutkan, ‘Otonomi Perguruan tinggi menjadi salah satu prasyarat utama agar peran yang diharapkan dapat dijalankan dengan baik dan dapat menunjukkan akuntabilitas yang baik pula yang dapat diterima oleh masyarakat luas sesuai dengan perannya.’ Pada naskah akademik UU ini, terlihat jelas bahwa ruh (semangat) UU Pendidikan Tinggi pada dasarnya adalah otonomi.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan pembatalan UU BHP menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menghendaki adanya otonomi pengelolaan pendidikan. UUD 1945 tidak meilihat bahwa dalam mewujudkan pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 tidak dibutuhkan sistem pengelolaan pendidikan secara otonom. Selain itu, Mahkamah Konstitusi melihat otonomi pendidikan hanya sebatas trial and error belaka, tanpa adanya kajian empirik, yang dapat menyebabkan tujuan pendidikan nasional tidak tercapai.

Berdasarkan tafsiran MK ini, Otonomi jelas problematis. Di satu sisi, ia merupakan ‘injeksi’ dari kepentingan institusi keuangan internasional yang punya kepentingan untuk memasukkan logika pasar bebas dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Di sisi lain, ia juga tidak berkaitan langsung dengan tujuan pendidikan nasional. Ini yang perlu dikritisi.

Alasan Ketiga: ‘Kaburnya’ Negara. Semangat UU PT masih mencerminkan pelepasan tanggung jawab negara dalam hal pembiayaan perguruan tinggi. Jika dicermati, pelepasan tanggung jawab negara yang muncul dalam substansi UU Pendidikan Tinggi tersebut berlangsung secara diskursif. UU ini memiliki dua kelemahan. Pemerintah mencoba memberikan tanggung jawab dengan memberikan redaksi kewenangan yang cukup banyak secara birokratis (misalnya, tanggung jawab dan sumber pembiayaan pendidikan tinggi ‘dapat’ dibiyai pemerintah melalui APBN dan APBD di BAB V).

Akan tetapi, di saat yang bersamaan pemerintah menyerahkan pendanaan kepada masyarakat. Pasal 86 memberikan peluang pembiayaan dari dunia usaha dan industri melalui fasilitasi dan insentif, pasal 88 mengatur standar satuan biaya operasional yang ditanggung oleh mahasiswa tanpa ada kejelasan regulasi dan jaminan hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan tinggi, serta pasal 89 yang menyatakan dengan jelas bahwa pendanaan PTN Badan Hukum adalah subsidi.

Beberapa pasal tersebut secara implisit menyatakan bahwa ‘pemerintah mengatur teknis pengelolaan pendidikan tinggi, tetapi menyerahkan dana pendidikan kepada mahasiswa, masyarakat, atau dunia usaha.’ Apa artinya? Pemerintah diberikan pembebanan untuk membiayai pendidikan tetapi dengan frase yang sangat longgar, yaitu ‘dapat memberikan dukungan dana…’ (pasal 83). Jika dicermati, kata ‘dapat’ ini ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (pada amar putusan pencabutan UU BHP) bukan sebagai kewajiban, melainkan sebagai pilihan, dan memberikan peluang-peluang pelepasan tanggung jawab pada prosesnya.

Konsekuensi dari pelepasan tanggung jawab negara ini adalah pembebanan tanggung jawab masyarakat dalam membiayai pendidikan. Dalam konteks pembebanan tanggung jawab kepada mahasiswa, UU Pendidikan Tinggi berpotensi menutup akses mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Padahal, akses terhadap pendidikan adalah amanah konstitusi (Pasal 31 UUD 1945). Selain berpotensi menutup akses, UU ini juga akan menjadikan biaya kuliah tidak terjangkau oleh masyarakat yang miskin dan bodoh, sehingga pendidikan tidak dapat membebaskan mereka dari kemiskinan sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 1945.

Diskursus Pendidikan Neoliberal

Dengan kata lain, UU Pendidikan Tinggi masih berada dalam dislokasi dan tarik-ulur konsepsi pembangunan internasional dalam pendidikan tinggi. Konsekuensi dari hal ini adalah menjadikan pendidikan tinggi sebagai entitas ‘privat’ yang bersaing untuk melahirkan tenaga kerja yang ujung-ujungnya dieksploitasi, alih-alih mencetak intelektual yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan dalam semua level profesi yang digeluti.

Poin utama dari penolakan UU Pendidikan Tinggi adalah keberatan bahwa pendidikan tinggi harus dibuat dengan semangat otonomi. Dalam tulisan (2006) dan pidato pengukuhan Guru Besar (2012), Heru Nugroho menyatakan bahwa semangat otonomi yang lahir setelah masa reformasi pada kenyataannya justru melahirkan ‘banalitas intelektual,’ yaitu munculnya intelektual yang gemar mengerjakan proyek, tampil sebagai selebriti akademik, namun melupakan produksi pengetahuan di kampusnya.

Bentuk ‘otonomi’ atau ‘badan hukum’ dalam dunia pendidikan ini dikritik oleh beberapa pihak (Mamdani, 2007; Rey, 2011; Eagleton, 2010). Argumennya, bentuk ini mengimplikasikan adanya penarikan tanggung jawab negara pada pendanaan universitas, yang tidak hanya berimplikasi pada ‘komersialisasi tetapi juga berimplikasi pada munculnya praktik-praktik kekuasaan baru di universitas, yang seharusnya menjadi arena berpengetahuan ‘(Mamdani, 2007).

Praktik-praktik kekuasaan baru itu semakin mengarah pada peneguhan ‘kekuasaan pasar’ yang, menurut Hadiz dan Robison (2004), muncul kembali pasca-keruntuhan Orde Baru. Konsekuensi paling nampak dari peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi dan pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi atas pendidikan tinggi dengan dalih otonomi kampus.

Masalah pendidikan mahal ini perlu pula dilihat dalam kerangka proses dan cara berpengetahuan yang ada di kampus. Rey (2011), berargumen bahwa privatisasi pendidikan membuat kampus menjadi alat reproduksi dari ketimpangan sosial. Mengutip Eagleton (2010), Rey menyatakan bahwa kampus dan civitas akademika di dalamnya justru ‘melayani status quo’ dan tidak memberikan alternatif keadilan, tradisi, atau kemanusiaan di dalamnya. Cara berpengetahuan seperti ini, yang menurut Eagleton (2010), lahir dari biaya kuliah yang mahal, berakibat pada hilangnya dimensi kemanusiaan (humanity) dari pendidikan sehingga berakibat pada ‘kematian’ dari nafas universitas itu sendiri.

Nafas yang sama juga diperlihatkan dalam studi Mamdani (2007), yang melihat reformasi pendidikan neoliberal yang dipromosikan Bank Dunia di Uganda, justru berakibat pada perubahan cara berpengetahuan, di mana pendidikan justru menjadi wahana komersialisasi, subversi institusi publik oleh kepentingan privat dan mengakibatkan proses pendidikan dilakukan di atas fondasi komersial, bukan pada knowledge sharing atau pengembangan pengetahuan. Dalam studinya di Universitas Makarere, Uganda, Mamdani melihat bahwa reformasi pendidikan gaya neoliberal yang dijkampanyekan Bank Dunia, memberi implikasi kepada cara-cara berpengetahuan di universitas tersebut. Sebagai contoh sederhana, ia melihat fenomena ‘the winners and the losers‘: Departemen dan Fakultas yang tidak memiliki kesempatan pasar yang kuat akan cenderung untuk mengajarkan hal-hal yang sifatnya practiceindustrial ketimbang teoretik atau berbau pengetahuan.

Hal ini, menurut Mamdani, ditopang oleh kebijakan-kebijakan universitas pada bidang kurikulum yang sangat berorientasi pada permintaan pasar, mengakibatkan struktur kurikulum dengan mudah diubah menjadi lebih friendly dengan kepentingan pasar. Akibatnya, kebijakan menjadi sangat desentralistik. Hal ini secara otomatis mengubah cara universitas dalam memproduksi pengetahuan di berbagai bidang studi yang ada.

Belajar dari analisis ini, liberalisasi pendidikan tinggi bukan sekadar subversi kepentingan modal atas institusi pendidikan. Lebih dari itu, ia juga merupakan sebuah subversi atas praktik berpengetahuan yang dilakukan di areal produksi pengetahuan paling vital: kampus. Dengan ditariknya tanggung jawab negara atas pendidikan tinggi, kepentingan-kepentingan privat mulai masuk pada praktik-praktik berpengetahuan di kampus.

Sementara itu, di Indonesia, elit-elit birokrasi terlihat sangat menikmati kucuran donor dari Bank Dunia dan USAID (melalui beberapa program, seperti HPEQ, DUE LIKE, LSE3, SISWA, dll). Alih-alih menegaskan jati dirinya sebagai kampus kerakyatan dan kampus perjuangan melawan penjajahan (dalam segala bentuknya), banyak yang justru mengampanyekan wacanawacana yang bertaut dengan kepentingan orang lain.

Bergerak dan Lawan !!!

Pada tahun 2012, ratusan ribu mahasiswa turun ke jalan untuk menolak UU yang mengatur kenaikan biaya kuliah di Montreal, Kanada. Penolakan yang dianggap sebagai gerakan sipil terbesar di Kanada itu, tidak hanya efektif menghentikan pengesahan UU, tetapi juga berhasil menjungkalkan rezim liberal yang berkuasa di Kanada selama beberapa periode terakhir.

Kita perlu bercermin dari gerakan di Montreal tersebut. Menyambut upaya Judicial Review yang digagas oleh beberapa rekan aktivis, perlu kita nyatakan kembali bahwa UU Pendidikan Tinggi tidak sesuai dengan amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin hak warga atas pendidikan. Maka, upaya hukum, politik, dan pengorganisasian untuk mencabut UU Pendidikan Tinggi adalah pilihan tindakan yang patut untuk dipertimbangkan.

 

Sumber :

1. Muhammad Aminullah Thohir. IndoProgress. 2023. RUU Sisdiknas Tetap Mempersulit Akses ke Pendidikan Tinggi. https://indoprogress.com/2023/10/ruusisdiknas-liberal/ (diakses pada 21 Januari 2024)

2. Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. IndoProgress. 2013. UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme. https://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikantinggi-dalam-jerat-kapitalisme/ (diakses pada 21 Januari 2024)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url