Upaya Pemerintah Memarginalisasi Hak-Hak Agraria Rakyat dalam Perpres 78 Tahun 2023 dan UU 21 Tahun 2023

 

Oleh : Muhammad Giri Ainul Yaqien

Sekretaris Jenderal SAPMA PP Komisariat UNTIRTA 2023-2024

Agitasi-Pedia Januari 2024 - Agraria (SAPMA PP UNTIRTA).pdf

Agresivitas Pemerintah

Setelah revisi UU IKN yang melanggar UUPA 1960 dan Putusan MK dengan memberikan keistimewaan berlebihan 190 tahun Hak Guna Usaha (HGU) kepada para investor dan korporasi perkebunan di Proyek IKN Kalimantan Timur, pemerintah di ujung periode kekuasaannya kembali menerbitkan satu lagi regulasi kontroversial terkait pertanahan. Telat terbit Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 (Perpres 78). Dalam konsiderannya, Perpres 78 ini diteken Presiden untuk mengatur tata cara penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah demi percepatan pelaksanaan pembangunan nasional.

Aturan termutakhir ini penting diwaspadai sebab di dalamnya merancang tata-cara pemerintah menghapus hak-hak dasar rakyat atas tanah. Hadirnya perpres ini, menunjukkan bahwa hak atas tanah (HAT) sebagai konstitusionalitas petani, buruh tani, masyarakat adat dan rakyat miskin yang termarginalkan dalam struktur agraria, termasuk janji penyelesaian konflik agraria dalam kerangka Reforma Agraria semakin jauh panggang dari api. 

UU 21 Tahun 2023 : Inkonstitusionalitas Hak atas Tanah di Ibu Kota Nusantara

Pemberian jangka waktu hak atas tanah yang diatur dalam UU IKN secara langsung bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara Sebagaimana Diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) sudah disahkan oleh DPR dan Presiden Republik Indonesia. Hal yang sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan adalah mengenai pemilikan atas tanah pada kawasan IKN. Seperti diketahui bahwa Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah khusus setingkat provinsi. Wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara berdasarkan UU IKN. Ibu Kota Nusantara nantinya akan digunakan sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan pemerintah pusat serta tempat kedudukan perwakilan negara asing dan perwakilan organisasi/lembaga internasional.

Penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara itu adalah Otorita Ibu Kota Nusantara. Otorita Ibu Kota Nusantara dipimpin oleh Kepala yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala. Keduanya ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Pasal 16 ayat (7) jo. Pasal 16 Ayat (8) UU IKN mengatur kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam mengelola hak atas tanah di wilayahnya. Ia bebas mengatur perikatan untuk perjanjian hak atas tanah dengan individu atau badan hukum. Kewenangan itu termasuk memberikan jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah di atas hak pengelolaan. Pengalihan hak atas tanah di Ibu Kota Nusantara diwajibkan dengan persetujuan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara.

Mari lihat Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara (PP No. 12/2023). Pada ketentuan tersebut, tanah di IKN ditetapkan sebagai “Barang milik Negara” dan “Aset dalam Penguasaan”. Barang milik negara yaitu tanah yang pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu, aset dalam penguasaan yaitu tanah di wilayah Ibu Kota Nusantara yang tidak terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara dengan Hak Pengelolaan. Otorita Ibu Kota Nusantara juga diberikan kewenangan untuk melakukan pengalokasian, penggunaan, pemanfaatan, pengalihan, serta pelepasan dan penghapusan aset atas bagian tanah Hak Pengelolaan.

Pasal 16A ayat (1) UU IKN mengatur jangka waktu hak atas tanah berbentuk Hak Guna Usaha (HGU) mencapai 190 tahun. Hak tersebut diberikan dalam dua kali siklus. Pertama, jangka waktu paling lama 95 tahun dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah pemberian HGU paling lama 35 tahun. Tahap kedua adalah pemberian HGU paling lama 25 tahun. Tahap ketiga adalah pembaruan HGU paling lama 35 tahun. Selanjutnya pelaku usaha dapat mengajukan pemberian kembali HGU untuk siklus kedua dengan jangka waktu yang sama.

Namun, pengaturan itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 28 UUPA mengatur HGU yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu 25 tahun. HGU untuk perusahaan dapat diberikan 35 tahun yang dapat diperpanjang dengan paling lama 25 tahun. Perlu diperhatikan bahwa HGU digunakan perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU ini hanya bisa diperoleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dengan berkedudukan di Indonesia.

Selanjutnya UU IKN mengatur jangka waktu hak atas tanah berbentuk Hak Guna Bangunan (HGB) hingga paling lama 160 tahun juga melalui dua siklus. Siklus pertama memberikan jangka waktu 80 tahun dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah pemberian HGB paling lama 30 tahun. Tahap kedua yaitu perpanjangan HGB paling lama 20 tahun. Tahap ketiga adalah pembaruan HGB paling lama 30 tahun. Selanjutnya pelaku usaha dapat mengajukan pemberian kembali HGU untuk siklus kedua dengan jangka waktu yang sama.

Padahal, Pasal 35 UUPA mengatur HGB di atas tanah yang bukan miliknya sendiri paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Jangka waktu yang sama juga berlaku untuk Hak Pakai. Rumah hunian bagi warga negara asing dapat diberikan Hak Pakai juga mencapai 160 tahun.

Jelas bahwa pengaturan jangka waktu hak atas tanah tidak sesuai dengan ketentuan UUPA dan bertentangan pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21-22/PUU-V/2007 tentang kekuasaan negara dalam kegiatan penanaman modal. Putusan Mahkamah Konstitusi saat itu menyatakan pengaturan jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai hingga ratusan tahun bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Pasal yang dibatalkan keberlakuannya sebagai hukum saat itu mengatur jangka waktu HGU hingga 95 tahun, HGB hingga 80 tahun, dan Hak Pakai hingga 70 tahun.

Oleh karena itu, pemberian jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU IKN secara langsung bertentangan dengan konstitusi. Hal ini tidak memberikan dampak positif, bahkan akan menambah masalah baru atau konflik pada bidang agraria. Perlu juga diperhatikan sebagian letak IKN di Kalimantan Timur. Perlu dipertimbangkan bukan hanya dari segi ekonomis namun juga kelestarian lingkungan dan alamnya.

Begitu juga dengan hak-hak masyarakat termasuk masyarakat adat sekitar juga perlu diperhatikan. Perlu ditekankan prinsip IKN yang didesain sesuai dengan kondisi alam, rendah emisi karbon, dan peluang ekonomi untuk semua harus tetap mengacu UUD 1945. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik seluruh rakyat secara kolektif. Negara hanya diberi mandat menguasainya untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama.

 

Perpres 78 Tahun 2023 : Pembohongan Produk Hukum

Nama Perpres ini memang terkesan humanis karena hendak mengurus “dampak sosial kemasyarakatan” sebagai akibat dari kebutuhan tanah untuk proyek-proyek pembangunan. Ironisnya, isinya merumuskan bagaimana tata cara pemerintah menggusur masyarakat dari tanah yang menjadi tempat tinggal, tanah kelahiran dan sumber penghidupannya.

Semakin ironis karena nilai-nilai philosofis dan ideologis dari konstitusionalisme agraria warga yang telah dilindungi dan dijamin Konstitusi dan UUPA berujung pada pemberian “santunan”. Pasal 1 Ayat (3) Perpres berbunyi: “Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan adalah penanganan masalah sosial berupa pemberian santunan untuk pemindahan masyarakat yang menguasai tanah yang akan digunakan untuk pembangunan nasional.”

Pemberian santunan memberi kesan sebagai bentuk “sumbangan kemanusiaan” agar masyarakat bersedia digusur. Padahal, istilah santunan dipakai karena hak masyarakat atas tanah dianggap telah nyata-nyata bukan milik rakyat, kemudian masyarakat diusir dengan menggunakan istilah pemberian santunan.

Itulah sebabnya Perpres 78 tidak menggunakan terminologi ganti-kerugian seperti UU Pengadaan Tanah. Perpres ini menggunakan istilah lain yaitu “santunan”, yang menunjukkan bahwa hak atas tanah warga tidak ada, tidak diakui, maka pemerintah melakukan bentuk kebaikan atau kemurahan hati (charity) pemerintah dengan memberikan santunan. Dalam terminologi santunan Perpres 78, tidak ada perspektif kewajiban negara (state obligation) untuk membayar ganti-kerugian yang diderita masyarakat atas kehilangan tanahnya secara patut dan proporsional dengan memperhitungkan kerugian materil maupun non-materil, sehingga tetap bermartabat pasca dihilangkan hak atas tanahnya.

Memfasilitasi Model Pembangunan Pro-modal Besar

Perpres ini merancang sistem pengalokasian tanah yang semakin berwatak pro-pemodal melalui mantra-mantra ”demi pembangunan”, ketimbang berwatak kerakyatan (populis) melalui pembangunan yang berperspektif Reforma Agraria.

Padahal, sejak 1960 melalui UUPA para pendiri bangsa sudah sangat revolusioner dan visioner dalam merumuskan fondasi hukum agraria yang kuat dan populis, yakni; mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.

Perspektif pemberian santunan dan charity uang kepada masyarakat korban, yang menguasai dan memiliki tanah merupakan persfektif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip UUPA. Alih-alih memperbaiki kelemahan-kelemahan regulasi dan birokrasi yang menghambat penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah, pengakuan hak atas tanah bagi rakyat, justru presiden melahirkan perpres yang semakin memadamkan bahkan mengancam kebijakan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar yang telah dijanjikan oleh presiden sendiri. Dengan demikian, watak politik-hukum agraria yang dianut perpres menyimpang dari ideologi UUPA.

Bersifat Anti-Reforma Agraria

Perpres ini menyeleweng jauh dari prinsip hukum agraria nasional dengan klaim “pemerintah pemilik tanah”. Dengan prinsip semacam itu sudah barang tentu diskriminasi hak petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin serta kelompok marginal lainnya yang masih memperjuangkan hak atas tanah akan semakin meluas, konflik agraria akan semakin parah. Perpres ini patut ditolak sebab menganut paham yang sesat bahwa tanah-tanah yang dikuasai masyarakat adalah bersumber dari “tanah milik” pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan tanah negara dalam pengelolaan pemerintah alias hak pengelolaan (HPL) (Pasal 3). Pasal 3 di atas adalah bentuk nyata praktik domien-verklaring seperti jaman Belanda, yang telah dihapus UUPA. Selain itu, frasa “tanah milik pemerintah” dan “tanah negara dalam pengelolaan pemerintah” adalah bentuk kesewenang-wenangan lainnya yang ditentang UUPA, sekaligus melanggar Konstitusi. Pemerintah “lupa”, bahwa dalam hukum agraria nasional yang kita anut, pemerintah bukan lah pemilik tanah. Putusan MK terkait hak menguasai dari negara telah jelas menyatakan itu.

Perumus Perpres ini melanggar Pasal 9 UUPA yang telah menjamin bahwa; Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Perpres ini memaknai konsep “masyarakat yang menguasai tanah” dengan sangat sempit dan legalistik semata. Akibatnya persfektif Perpres ini memandang masyarakat sebagai kelompok warga negara yang pada dirinya sama sekali tidak melekat hak atas tanah sebagai hak konstitusional yang wajib dipenuhi negara melalui penguasa. Masyarakat menjadi kelompok illegal dalam perpres ini. Tidaklah mengherangkan jika bentuk penyelesaiannya adalah memberikan santunan, bukan dalam persfektif penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemulihan hak atas tanah masyarakat.

Merumuskan Prasyarat Berlapis

Perpres ini merumuskan prasyarat berlapis yang diskriminatif dan berwatak ’pelit’ kepada rakyat, dengan cara menyaring siapa saja masyarakat yang berhak mendapatkan santunan. Pasal 3 Ayat (1) menyatakan bahwa masyarakat yang berhak mendapatkan manfaat (santunan) dari penanganan dampak sosial kemasyarakatan ini hanya bagi mereka yang menurut kaca-mata pemerintah telah menguasai dan memanfaatkan tanah (‘bukan miliknya’) secara fisik paling singkat 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus. Filter ke dua adalah syarat masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan tanah dengan itikad baik secara terbuka, serta tidak diganggu gugat, diakui dan dibenarkan oleh pemilik hak atas tanah dan/atau lurah/kepala desa setempat.

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Terkandung watak ‘pelit’ negara kepada rakyat terkait hak atas tanah, kontras dengan watak memanjakan investor melalui pemberian puluhan juta hektar tanah-tanah maha luas dalam bentuk HGU, HTI, HPL, ijin tambang, dll, kepada segelintir badan usaha. Dengan rumusan pasal demikian, lantas bagaimana dengan wilayahwilayah konflik agraria dimana petani dan masyarakat adat mengalami konflik dengan klaimklaim HGU negara (BUMN/PTPN), HGU swasta, Perhutani, HTI, klaim kawasan hutan dll? Dengan syarat-syarat penyaringan di atas, maka perpres ini akan berlaku sangat diskriminatif terhadap perkampungan/desa-desa, tanah pertanian, wilayah adat dan daerah-daerah konflik agraria. Menurut normatif hukum dari perpres ini, maka akan ada puluhan juta keluarga, petani, buruh, masyarakat adat dan kelompok rentan yang dianggap tidak berhak atas tanah, tidak layak juga mendapatkan santunan, sehingga satu-satunya opsih layak digusur langsung.

Merupakan Produk Hukum yang Tidak Perlu

Perpres ini terbilang sebagai bentuk penghamburan uang Negara, memperparah carutmarut hukum, overlapped dan inkonsistensi dengan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres 78 ini tidak perlu dan overlapped, sebab kebutuhan pemerintah untuk memperoleh tanah demi pembangunan dan investor sebenarnya dapat menggunakan instrumen UU Pengadaan Tanah dan regulasi turunannya. Kita tahu bahwa UU pengadaan tanah telah diubah (”diperkuat”) pasal-pasalnya untuk kepentingan investasi dengan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian ”direvisi” lagi melalui UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu 2/ 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang. UUCK telah memperluas cakupan “kepentingan umum” dalam UU Pengadaan Tanah tidak hanya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur saja, tetapi juga pengadaan tanah untuk kepentingan kawasan industri hulu dan hilir, minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan ketahanan pangan dan kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD.

Dalam perpres ini pemerintah juga menunjukkan inkonsistensinya dengan cara menggunakan istilah “penyediaan tanah”, seolah berbeda dengan istilah “pengadaan tanah” dalam UU Pengadaan Tanah. Padahal Perpres 78 ini menyatakan sendiri bahwa Penyediaan Tanah adalah pengadaan tanah yang diperlukan untuk digunakan dalam pelaksanaan pembangunan nasional (Pasal 1 Ayat (2)). Artinya Perpres ini mengatur hal yang sama dengan regulasi lainnya dengan menggunakan istilah berbeda-beda. Lantas, mengapa membuat regulasi baru? Sebuah penghamburan anggaran untuk urusan penyediaan tanah yang sudah ada instrumen hukumnya, lebih-lebih makin melahirkan carut-marut hukum agraria. 

Perancangan Berskala Nasional untuk Percepatan Proyek

Wilayah berlaku perpres ini dirancang secara nasional untuk percepatan proyek-proyek pembangunan yang membutuhkan tanah dalam skala luas, meski demikian substansinya juga memuat tiga ”strategy exit” kebutuhan khusus pemerintah untuk melanjutkan eksekusi pembangunan Proyek Rempang Ecocity-Batam. Tiga strategy exit tersebut nampak ketika Perpres ini mengatur siapa leading sector birokrasi yang akan menjalankan mandat perpres. Awalnya Perpres ini memberikan kewenangan kepada gubernur untuk membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan, disingkat Tim Terpadu (Pasal 8). Selanjutnya soal kewenangan perpres ini mengatur sedemikian rupa agar pasal-pasalnya sesuai dengan kebutuhan spesifik eksekusi PSN Rempang.

Perpres ini menyatakan bahwa kerja Tim Terpadu di bawah gubernur harus berdasarkan rapat yang dikoordinasikan oleh Kemenko Bidang Perekonomian. Lumrahnya, urusan pengadaan/penyediaan tanah seharusnya di bawah jurisdiksi Kementerian ATR/BPN, bukan Kemenko Perekonomian. Tetapi kita ketahui bahwa konflik agraria akibat pengukuran paksa di Rempang Eco-city pemicunya adalah langkah Kemenko Perekonomian menetapkan Proyek Rempang Eco-city sebagai proyek strategis nasional (PSN). Artinya Perpres ini ditujukan sebagai landasan hukum memuluskan proyek-proyek berlabel PSN di bawah Kemenko Perekonomian.

Guna memuluskan eksekusi PSN Rempang Ecocity, Perpres ini juga memberikan pintu pengecualian sebagai strategy exit lainnya, yakni disebut “pendelegasian kewenangan”. Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan kepada wali kota, dengan alasan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain (Pasal 12). Kita ketahui bahwa Walikota Batam memiliki jabatan rangkap sekaligus sebagai Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam yang bertanggungjawab langsung di lapangan untuk pelaksanaan PSN Rempang Eco-City.

Strategy exit ketiga, semakin nyata kepentingan PSN Rempang Ecocity; dalam hal Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan berlokasi di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, kewenangan gubernur dalam Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan diberikan kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pasal ini semakin jelas memperlihatkan kepentingan khusus perpres terkait Proyek Rempang Ecocity. Mengapa demikian? Sebab, selain Bintan dan Karimun, Batam masuk ke dalam ketegori Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB/free trade zone).

Demikianlah, perpres ini menjadi jalan keluar bagi pemerintah untuk menangani dampak sosial PSN di Batam dengan cara memberikan santunan, sebagai cara halus menggusur warga Rempang dari tanahnya. Anehnya, ketimbang membuat regulasi yang memang khusus untuk penyelesaian kasus Rempang, pemerintah memilih menyamarkan kepentingan khusus tersebut di dalam perpres yang wilayah berlakunya bersifat umum dan akan berdampak luas pada masyarakat, tidak hanya di Batam, tetapi juga masyarakat di berbagai daerah lainnya.

Pernyataan Sikap KPA Mengenai Kemunduran Kualitas Produk Hukum Agraria di Indonesia

Konsorsium Pembaruan Agraria memandang telah terjadi kemunduran drastis kualitas produk-produk hukum agraria di Indonesia yang menyangkut pertanahan, kehutanan, pertambangan, pertanian dan pangan. Atas dasar 6 (enam) pandangan di atas, maka Konsosrsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan;

1) Menolak Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2023;

2) Mendesak Presiden RI untuk segera mencabut Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2023;

3) Mendesak Pemerintah kembali pada Sila ke-5 Pancasila, UUD 1945 dan cita-cita UUPA 1960.

Kami juga mengecam DPR RI yang tidak menjalankan fungsi kontrolnya sebagai wakil rakyat. Seharusnya DPR RI menjadi terdepan dalam menegakkan konstitusi dengan cara memastikan seluruh tanah dan kekayaan alam bangsa ini dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Tanah bukan dimiliki pemerintah sebagai kekuasaan absolut, dan tidak untuk diobral kepada segelintir kelompok badan usaha/korporasi dan pengusaha.

Sumber :

1. Stephanie Hwang. Hukum Online. Inkonstitusionalitas Hak atas Tanah di Ibu Kota Nusantara. https://www.hukumonline.com/berita/a/inkonstitusionalitas-hakatas-tanah-di-ibu-kota-nusantara-lt65546e80de3a1/ (diakses pada 21 Januari 2024)

2. Admin. Konsorsium Pembaruan Agraria. 2024. Presiden Wajib Mencabut Perpres 78/2023: Perpres Pengesahan Aturan Menggusur Cukup Santunan dan Pengabaian Hak Masyarakat. https://www.kpa.or.id/2024/01/04/presiden-wajib-mencabut-perpres-78-2023-perpres-pengesahan-aturan-menggusur-cukupsantunan-dan-pengabaian-hak-masyarakat/ (diakses pada 21 Januari 2024)


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url