Upaya Pemerintah Memarginalisasi Hak-Hak Agraria Rakyat dalam Perpres 78 Tahun 2023 dan UU 21 Tahun 2023
Oleh : Muhammad Giri Ainul Yaqien
Sekretaris Jenderal SAPMA PP Komisariat UNTIRTA 2023-2024
Agitasi-Pedia Januari 2024 - Agraria (SAPMA PP UNTIRTA).pdf
Agresivitas Pemerintah
Setelah revisi
UU IKN yang melanggar UUPA 1960 dan Putusan MK dengan memberikan keistimewaan
berlebihan 190 tahun Hak Guna Usaha (HGU) kepada para investor dan korporasi
perkebunan di Proyek IKN Kalimantan Timur, pemerintah di ujung periode
kekuasaannya kembali menerbitkan satu lagi regulasi kontroversial terkait
pertanahan. Telat terbit Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2023 tentang Perubahan
atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 (Perpres 78). Dalam konsiderannya,
Perpres 78 ini diteken Presiden untuk mengatur tata cara penanganan dampak
sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah demi percepatan pelaksanaan
pembangunan nasional.
Aturan termutakhir ini penting diwaspadai sebab di dalamnya merancang tata-cara pemerintah menghapus hak-hak dasar rakyat atas tanah. Hadirnya perpres ini, menunjukkan bahwa hak atas tanah (HAT) sebagai konstitusionalitas petani, buruh tani, masyarakat adat dan rakyat miskin yang termarginalkan dalam struktur agraria, termasuk janji penyelesaian konflik agraria dalam kerangka Reforma Agraria semakin jauh panggang dari api.
UU 21 Tahun 2023 : Inkonstitusionalitas
Hak atas Tanah di Ibu Kota Nusantara
Pemberian
jangka waktu hak atas tanah yang diatur dalam UU IKN secara langsung
bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu
Kota Negara Sebagaimana Diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2023 tentang
Ibu Kota Negara (UU IKN) sudah disahkan oleh DPR dan Presiden Republik
Indonesia. Hal yang sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan adalah
mengenai pemilikan atas tanah pada kawasan IKN. Seperti diketahui bahwa Ibu
Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah khusus setingkat provinsi.
Wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara berdasarkan UU IKN. Ibu
Kota Nusantara nantinya akan digunakan sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan
pemerintah pusat serta tempat kedudukan perwakilan negara asing dan perwakilan
organisasi/lembaga internasional.
Penyelenggara
Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara itu adalah Otorita Ibu Kota
Nusantara. Otorita Ibu Kota Nusantara dipimpin oleh Kepala yang dibantu oleh
seorang Wakil Kepala. Keduanya ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung
oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Pasal 16 ayat (7) jo. Pasal 16
Ayat (8) UU IKN mengatur kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam mengelola
hak atas tanah di wilayahnya. Ia bebas mengatur perikatan untuk perjanjian hak
atas tanah dengan individu atau badan hukum. Kewenangan itu termasuk memberikan
jaminan perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah di atas hak pengelolaan.
Pengalihan hak atas tanah di Ibu Kota Nusantara diwajibkan dengan persetujuan
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara.
Mari lihat
Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan
Berusaha Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di
Ibu Kota Nusantara (PP No. 12/2023). Pada ketentuan tersebut, tanah di IKN
ditetapkan sebagai “Barang milik Negara” dan “Aset dalam Penguasaan”. Barang
milik negara yaitu tanah yang pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita
Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu,
aset dalam penguasaan yaitu tanah di wilayah Ibu Kota Nusantara yang tidak
terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan kepada Otorita Ibu
Kota Nusantara dengan Hak Pengelolaan. Otorita Ibu Kota Nusantara juga
diberikan kewenangan untuk melakukan pengalokasian, penggunaan, pemanfaatan,
pengalihan, serta pelepasan dan penghapusan aset atas bagian tanah Hak
Pengelolaan.
Pasal 16A ayat
(1) UU IKN mengatur jangka waktu hak atas tanah berbentuk Hak Guna Usaha (HGU)
mencapai 190 tahun. Hak tersebut diberikan dalam dua kali siklus. Pertama,
jangka waktu paling lama 95 tahun dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah
pemberian HGU paling lama 35 tahun. Tahap kedua adalah pemberian HGU paling
lama 25 tahun. Tahap ketiga adalah pembaruan HGU paling lama 35 tahun.
Selanjutnya pelaku usaha dapat mengajukan pemberian kembali HGU untuk siklus
kedua dengan jangka waktu yang sama.
Namun,
pengaturan itu tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 28 UUPA mengatur HGU yang
dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu 25 tahun. HGU untuk perusahaan
dapat diberikan 35 tahun yang dapat diperpanjang dengan paling lama 25 tahun.
Perlu diperhatikan bahwa HGU digunakan perusahaan pertanian, perikanan, atau
peternakan. HGU ini hanya bisa diperoleh Warga Negara Indonesia atau badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dengan berkedudukan di Indonesia.
Selanjutnya UU
IKN mengatur jangka waktu hak atas tanah berbentuk Hak Guna Bangunan (HGB)
hingga paling lama 160 tahun juga melalui dua siklus. Siklus pertama memberikan
jangka waktu 80 tahun dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah pemberian HGB
paling lama 30 tahun. Tahap kedua yaitu perpanjangan HGB paling lama 20 tahun.
Tahap ketiga adalah pembaruan HGB paling lama 30 tahun. Selanjutnya pelaku
usaha dapat mengajukan pemberian kembali HGU untuk siklus kedua dengan jangka
waktu yang sama.
Padahal, Pasal
35 UUPA mengatur HGB di atas tanah yang bukan miliknya sendiri paling lama 30
tahun yang dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Jangka waktu yang sama juga
berlaku untuk Hak Pakai. Rumah hunian bagi warga negara asing dapat diberikan
Hak Pakai juga mencapai 160 tahun.
Jelas bahwa
pengaturan jangka waktu hak atas tanah tidak sesuai dengan ketentuan UUPA dan
bertentangan pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21-22/PUU-V/2007
tentang kekuasaan negara dalam kegiatan penanaman modal. Putusan Mahkamah
Konstitusi saat itu menyatakan pengaturan jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai
hingga ratusan tahun bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Pasal yang
dibatalkan keberlakuannya sebagai hukum saat itu mengatur jangka waktu HGU
hingga 95 tahun, HGB hingga 80 tahun, dan Hak Pakai hingga 70 tahun.
Oleh karena
itu, pemberian jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU IKN secara langsung
bertentangan dengan konstitusi. Hal ini tidak memberikan dampak positif, bahkan
akan menambah masalah baru atau konflik pada bidang agraria. Perlu juga
diperhatikan sebagian letak IKN di Kalimantan Timur. Perlu dipertimbangkan
bukan hanya dari segi ekonomis namun juga kelestarian lingkungan dan alamnya.
Begitu juga
dengan hak-hak masyarakat termasuk masyarakat adat sekitar juga perlu
diperhatikan. Perlu ditekankan prinsip IKN yang didesain sesuai dengan kondisi
alam, rendah emisi karbon, dan peluang ekonomi untuk semua harus tetap mengacu
UUD 1945. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum
negara pada hakikatnya adalah milik seluruh rakyat secara kolektif. Negara
hanya diberi mandat menguasainya untuk digunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran bersama.
Perpres 78 Tahun 2023 :
Pembohongan Produk Hukum
Nama Perpres
ini memang terkesan humanis karena hendak mengurus “dampak sosial
kemasyarakatan” sebagai akibat dari kebutuhan tanah untuk proyek-proyek
pembangunan. Ironisnya, isinya merumuskan bagaimana tata cara pemerintah
menggusur masyarakat dari tanah yang menjadi tempat tinggal, tanah kelahiran
dan sumber penghidupannya.
Semakin ironis
karena nilai-nilai philosofis dan ideologis dari konstitusionalisme agraria
warga yang telah dilindungi dan dijamin Konstitusi dan UUPA berujung pada
pemberian “santunan”. Pasal 1 Ayat (3) Perpres berbunyi: “Penanganan Dampak
Sosial Kemasyarakatan adalah penanganan masalah sosial berupa pemberian
santunan untuk pemindahan masyarakat yang menguasai tanah yang akan digunakan
untuk pembangunan nasional.”
Pemberian
santunan memberi kesan sebagai bentuk “sumbangan kemanusiaan” agar masyarakat
bersedia digusur. Padahal, istilah santunan dipakai karena hak masyarakat atas
tanah dianggap telah nyata-nyata bukan milik rakyat, kemudian masyarakat diusir
dengan menggunakan istilah pemberian santunan.
Itulah sebabnya Perpres 78 tidak menggunakan terminologi ganti-kerugian seperti UU Pengadaan Tanah. Perpres ini menggunakan istilah lain yaitu “santunan”, yang menunjukkan bahwa hak atas tanah warga tidak ada, tidak diakui, maka pemerintah melakukan bentuk kebaikan atau kemurahan hati (charity) pemerintah dengan memberikan santunan. Dalam terminologi santunan Perpres 78, tidak ada perspektif kewajiban negara (state obligation) untuk membayar ganti-kerugian yang diderita masyarakat atas kehilangan tanahnya secara patut dan proporsional dengan memperhitungkan kerugian materil maupun non-materil, sehingga tetap bermartabat pasca dihilangkan hak atas tanahnya.
Memfasilitasi Model
Pembangunan Pro-modal Besar
Perpres ini
merancang sistem pengalokasian tanah yang semakin berwatak pro-pemodal melalui
mantra-mantra ”demi pembangunan”, ketimbang berwatak kerakyatan (populis)
melalui pembangunan yang berperspektif Reforma Agraria.
Padahal, sejak
1960 melalui UUPA para pendiri bangsa sudah sangat revolusioner dan visioner
dalam merumuskan fondasi hukum agraria yang kuat dan populis, yakni; mewajibkan
Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua
tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Perspektif pemberian santunan dan charity uang kepada masyarakat korban, yang menguasai dan memiliki tanah merupakan persfektif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip UUPA. Alih-alih memperbaiki kelemahan-kelemahan regulasi dan birokrasi yang menghambat penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah, pengakuan hak atas tanah bagi rakyat, justru presiden melahirkan perpres yang semakin memadamkan bahkan mengancam kebijakan Reforma Agraria seluas 9 juta hektar yang telah dijanjikan oleh presiden sendiri. Dengan demikian, watak politik-hukum agraria yang dianut perpres menyimpang dari ideologi UUPA.
Bersifat Anti-Reforma Agraria
Perpres ini
menyeleweng jauh dari prinsip hukum agraria nasional dengan klaim “pemerintah
pemilik tanah”. Dengan prinsip semacam itu sudah barang tentu diskriminasi hak
petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin serta kelompok marginal
lainnya yang masih memperjuangkan hak atas tanah akan semakin meluas, konflik
agraria akan semakin parah. Perpres ini patut ditolak sebab menganut paham yang
sesat bahwa tanah-tanah yang dikuasai masyarakat adalah bersumber dari “tanah
milik” pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan tanah negara dalam
pengelolaan pemerintah alias hak pengelolaan (HPL) (Pasal 3). Pasal 3 di atas
adalah bentuk nyata praktik domien-verklaring seperti jaman Belanda, yang telah
dihapus UUPA. Selain itu, frasa “tanah milik pemerintah” dan “tanah negara
dalam pengelolaan pemerintah” adalah bentuk kesewenang-wenangan lainnya yang
ditentang UUPA, sekaligus melanggar Konstitusi. Pemerintah “lupa”, bahwa dalam
hukum agraria nasional yang kita anut, pemerintah bukan lah pemilik tanah.
Putusan MK terkait hak menguasai dari negara telah jelas menyatakan itu.
Perumus Perpres ini melanggar Pasal 9 UUPA yang telah menjamin bahwa; Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Perpres ini memaknai konsep “masyarakat yang menguasai tanah” dengan sangat sempit dan legalistik semata. Akibatnya persfektif Perpres ini memandang masyarakat sebagai kelompok warga negara yang pada dirinya sama sekali tidak melekat hak atas tanah sebagai hak konstitusional yang wajib dipenuhi negara melalui penguasa. Masyarakat menjadi kelompok illegal dalam perpres ini. Tidaklah mengherangkan jika bentuk penyelesaiannya adalah memberikan santunan, bukan dalam persfektif penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemulihan hak atas tanah masyarakat.
Merumuskan Prasyarat Berlapis
Perpres ini
merumuskan prasyarat berlapis yang diskriminatif dan berwatak ’pelit’ kepada
rakyat, dengan cara menyaring siapa saja masyarakat yang berhak mendapatkan
santunan. Pasal 3 Ayat (1) menyatakan bahwa masyarakat yang berhak mendapatkan
manfaat (santunan) dari penanganan dampak sosial kemasyarakatan ini hanya bagi
mereka yang menurut kaca-mata pemerintah telah menguasai dan memanfaatkan tanah
(‘bukan miliknya’) secara fisik paling singkat 10 (sepuluh) tahun secara terus
menerus. Filter ke dua adalah syarat masyarakat yang menguasai dan memanfaatkan
tanah dengan itikad baik secara terbuka, serta tidak diganggu gugat, diakui dan
dibenarkan oleh pemilik hak atas tanah dan/atau lurah/kepala desa setempat.
Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Terkandung watak ‘pelit’ negara kepada rakyat terkait hak atas tanah, kontras dengan watak memanjakan investor melalui pemberian puluhan juta hektar tanah-tanah maha luas dalam bentuk HGU, HTI, HPL, ijin tambang, dll, kepada segelintir badan usaha. Dengan rumusan pasal demikian, lantas bagaimana dengan wilayahwilayah konflik agraria dimana petani dan masyarakat adat mengalami konflik dengan klaimklaim HGU negara (BUMN/PTPN), HGU swasta, Perhutani, HTI, klaim kawasan hutan dll? Dengan syarat-syarat penyaringan di atas, maka perpres ini akan berlaku sangat diskriminatif terhadap perkampungan/desa-desa, tanah pertanian, wilayah adat dan daerah-daerah konflik agraria. Menurut normatif hukum dari perpres ini, maka akan ada puluhan juta keluarga, petani, buruh, masyarakat adat dan kelompok rentan yang dianggap tidak berhak atas tanah, tidak layak juga mendapatkan santunan, sehingga satu-satunya opsih layak digusur langsung.
Merupakan Produk Hukum yang
Tidak Perlu
Perpres ini
terbilang sebagai bentuk penghamburan uang Negara, memperparah carutmarut
hukum, overlapped dan inkonsistensi dengan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres 78 ini tidak perlu dan
overlapped, sebab kebutuhan pemerintah untuk memperoleh tanah demi pembangunan
dan investor sebenarnya dapat menggunakan instrumen UU Pengadaan Tanah dan
regulasi turunannya. Kita tahu bahwa UU pengadaan tanah telah diubah
(”diperkuat”) pasal-pasalnya untuk kepentingan investasi dengan UU 11/2020
tentang Cipta Kerja. Kemudian ”direvisi” lagi melalui UU No. 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Perppu 2/ 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang.
UUCK telah memperluas cakupan “kepentingan umum” dalam UU Pengadaan Tanah tidak
hanya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur saja, tetapi juga pengadaan
tanah untuk kepentingan kawasan industri hulu dan hilir, minyak dan gas,
kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan ketahanan
pangan dan kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN/BUMD.
Dalam perpres ini pemerintah juga menunjukkan inkonsistensinya dengan cara menggunakan istilah “penyediaan tanah”, seolah berbeda dengan istilah “pengadaan tanah” dalam UU Pengadaan Tanah. Padahal Perpres 78 ini menyatakan sendiri bahwa Penyediaan Tanah adalah pengadaan tanah yang diperlukan untuk digunakan dalam pelaksanaan pembangunan nasional (Pasal 1 Ayat (2)). Artinya Perpres ini mengatur hal yang sama dengan regulasi lainnya dengan menggunakan istilah berbeda-beda. Lantas, mengapa membuat regulasi baru? Sebuah penghamburan anggaran untuk urusan penyediaan tanah yang sudah ada instrumen hukumnya, lebih-lebih makin melahirkan carut-marut hukum agraria.
Perancangan Berskala Nasional
untuk Percepatan Proyek
Wilayah berlaku
perpres ini dirancang secara nasional untuk percepatan proyek-proyek
pembangunan yang membutuhkan tanah dalam skala luas, meski demikian
substansinya juga memuat tiga ”strategy exit” kebutuhan khusus pemerintah untuk
melanjutkan eksekusi pembangunan Proyek Rempang Ecocity-Batam. Tiga strategy
exit tersebut nampak ketika Perpres ini mengatur siapa leading sector birokrasi
yang akan menjalankan mandat perpres. Awalnya Perpres ini memberikan kewenangan
kepada gubernur untuk membentuk Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan, disingkat Tim Terpadu (Pasal 8). Selanjutnya soal kewenangan
perpres ini mengatur sedemikian rupa agar pasal-pasalnya sesuai dengan
kebutuhan spesifik eksekusi PSN Rempang.
Perpres ini
menyatakan bahwa kerja Tim Terpadu di bawah gubernur harus berdasarkan rapat
yang dikoordinasikan oleh Kemenko Bidang Perekonomian. Lumrahnya, urusan
pengadaan/penyediaan tanah seharusnya di bawah jurisdiksi Kementerian ATR/BPN,
bukan Kemenko Perekonomian. Tetapi kita ketahui bahwa konflik agraria akibat
pengukuran paksa di Rempang Eco-city pemicunya adalah langkah Kemenko
Perekonomian menetapkan Proyek Rempang Eco-city sebagai proyek strategis
nasional (PSN). Artinya Perpres ini ditujukan sebagai landasan hukum memuluskan
proyek-proyek berlabel PSN di bawah Kemenko Perekonomian.
Guna memuluskan
eksekusi PSN Rempang Ecocity, Perpres ini juga memberikan pintu pengecualian
sebagai strategy exit lainnya, yakni disebut “pendelegasian kewenangan”.
Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan kepada wali kota, dengan alasan efisiensi, efektifitas, kondisi
geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain (Pasal 12). Kita ketahui
bahwa Walikota Batam memiliki jabatan rangkap sekaligus sebagai Kepala Badan
Pengusahaan (BP) Batam yang bertanggungjawab langsung di lapangan untuk
pelaksanaan PSN Rempang Eco-City.
Strategy exit
ketiga, semakin nyata kepentingan PSN Rempang Ecocity; dalam hal Penanganan
Dampak Sosial Kemasyarakatan berlokasi di Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas, kewenangan gubernur dalam Penanganan Dampak Sosial
Kemasyarakatan diberikan kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pasal ini semakin jelas memperlihatkan kepentingan
khusus perpres terkait Proyek Rempang Ecocity. Mengapa demikian? Sebab, selain
Bintan dan Karimun, Batam masuk ke dalam ketegori Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas (KPBPB/free trade zone).
Demikianlah,
perpres ini menjadi jalan keluar bagi pemerintah untuk menangani dampak sosial
PSN di Batam dengan cara memberikan santunan, sebagai cara halus menggusur
warga Rempang dari tanahnya. Anehnya, ketimbang membuat regulasi yang memang
khusus untuk penyelesaian kasus Rempang, pemerintah memilih menyamarkan
kepentingan khusus tersebut di dalam perpres yang wilayah berlakunya bersifat
umum dan akan berdampak luas pada masyarakat, tidak hanya di Batam, tetapi juga
masyarakat di berbagai daerah lainnya.
Pernyataan Sikap KPA Mengenai
Kemunduran Kualitas Produk Hukum Agraria di Indonesia
Konsorsium
Pembaruan Agraria memandang telah terjadi kemunduran drastis kualitas
produk-produk hukum agraria di Indonesia yang menyangkut pertanahan, kehutanan,
pertambangan, pertanian dan pangan. Atas dasar 6 (enam) pandangan di atas, maka
Konsosrsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan;
1) Menolak Peraturan Presiden No.
78 Tahun 2023;
2) Mendesak Presiden RI untuk
segera mencabut Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2023;
3) Mendesak Pemerintah kembali
pada Sila ke-5 Pancasila, UUD 1945 dan cita-cita UUPA 1960.
Kami juga mengecam DPR RI yang tidak menjalankan fungsi kontrolnya sebagai wakil rakyat. Seharusnya DPR RI menjadi terdepan dalam menegakkan konstitusi dengan cara memastikan seluruh tanah dan kekayaan alam bangsa ini dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Tanah bukan dimiliki pemerintah sebagai kekuasaan absolut, dan tidak untuk diobral kepada segelintir kelompok badan usaha/korporasi dan pengusaha.
Sumber :
1. Stephanie Hwang. Hukum Online.
Inkonstitusionalitas Hak atas Tanah di Ibu Kota Nusantara.
https://www.hukumonline.com/berita/a/inkonstitusionalitas-hakatas-tanah-di-ibu-kota-nusantara-lt65546e80de3a1/
(diakses pada 21 Januari 2024)
2. Admin. Konsorsium Pembaruan
Agraria. 2024. Presiden Wajib Mencabut Perpres 78/2023: Perpres Pengesahan
Aturan Menggusur Cukup Santunan dan Pengabaian Hak Masyarakat.
https://www.kpa.or.id/2024/01/04/presiden-wajib-mencabut-perpres-78-2023-perpres-pengesahan-aturan-menggusur-cukupsantunan-dan-pengabaian-hak-masyarakat/
(diakses pada 21 Januari 2024)