UU ITE : Jawaban Keresahan Rakyat atau Senjata Negara untuk Menyengsarakan Rakyat?
Oleh : Muhammad Giri Ainul Yaqien
Sekretaris Jenderal SAPMA PP Komisariat UNTIRTA 2023-2024
Agitasi-Pedia Januari 2024 - UU ITE (SAPMA PP Komisariat UNTIRTA).pdf
Sejarah UU ITE di Indonesia:
Perkembangan Regulasi dan Kontroversi Dunia Digital
Kendati
disahkan pada 2008, sejarah Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) bermula sejak 2003, ketika UU tersebut resmi dibahas. Awal Mei 2003,
pemerintah mulai membahas RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU
tentang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Pembahasan tersebut
dilakukan seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan
internet.
Kala itu,
pertumbuhan dunia digital mulai masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia
secara masif, seperti pertumbuhan pengguna internet hingga mulai populernya
jual beli melalui internet. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia merasa perlu
untuk memiliki undang-undang yang mengatur berbagai aspek terkait dengan
penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik.
UU ITE menjadi
payung hukum yang memberikan dasar pengaturan terhadap transaksi elektronik,
perlindungan data pribadi, keamanan transaksi elektronik, serta hak cipta dan
kekayaan intelektual dalam dunia digital. Menurut buku Tanya Jawab Sekitar
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(2008), UU ITE memiliki dua tujuan utama.
Pertama, adalah untuk
memfasilitasi perkembangan ekonomi digital di Indonesia, dan;
Kedua, untuk memberikan rasa
aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara internet di
Indonesia.
Selain itu UU ITE juga menjadi pengganti dan perluasan dari dua undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Sebagai sebuah undangundang yang mengatur ranah teknologi informasi, UU ITE mencakup berbagai hal, termasuk hak dan kewajiban pengguna internet serta penyelenggara sistem elektronik. Hal ini mencakup aspek pengamanan data dan informasi pribadi, perlindungan hak kekayaan intelektual dalam dunia digital, serta tanggung jawab bagi siapa pun yang menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia.
Proses Panjang Pengesahan UU ITE
Pemerintah
mengaku telah menyelesaikan pembahasan RUU ITE pada Agustus 2003, empat bulan
sejak RUU tersebut mulai dibahas. Akan tetapi, pembahasan RUU ITE mandek karena
tak kunjung dikirimkan ke DPR untuk disahkan. Setahun setelahnya, pada November
2004, RUU ITE baru masuk ke DPR untuk dibahas dan diproses.
Butuh waktu dua tahun hingga DPR melakukan dengar pendapat RUU ITE pada Mei-Juli 2006 dengan komposisi 13 bab dan 49 pasal. Setelah melalui rangkaian proses dengar pendapat tersebut, RUU ITE baru disetujui DPR untuk disahkan pada Maret 2008. Pada 21 April 2008, RUU ITE diresmikan dan disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai UU Nomor 11 Tahun 2008 yang berisi 13 bab dan 53 pasal.
Kontroversi Pasal Karet UU ITE
Belum genap
satu tahun disahkan, pada 5 Januari 2009, UU ITE digugat oleh beberapa lembaga
dan perorangan yang menganggap UU ITE berpotensi melanggar HAM. Para pemohon,
yang berisikan Edy Cahyono, Nenda Inasa, Amrie Hakim, PBHI, AJI, dan LBH Pers
mengajukan permohonan uji materi pada Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Namun, MK
menolak permohonan uji materi tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 27 Ayat (3)
UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Tak lama pasca
penolakan MK melakukan uji materi UU ITE, undang-undang tersebut menuai
kontroversi ketika digunakan RS Omni International Tangerang untuk menjerat
Prita Mulyasari (32), yang membagikan pengalaman buruknya ketika menjadi pasien
di rumah sakit tersebut melalui email. Melansir Antara, Prita menuliskan pesan
tersebut pada 15 Agustus 2008. Awalnya, email tersebut hanya ditujukan kepada
kalangan terbatas, namun isi email tersebar luas ke sejumlah milis di internet.
Atas peristiwa tersebut, RS Omni International menuntut Prita dengan delik pencemaran nama baik. Oleh RS Omni, Prita dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 Ayat (3) UU ITE. Melansir laman Dewan Pers, Prita kemudian dipenjara pada 13 Mei 2009 di LP Wanita Tangerang. Kasus tersebut menjadi fenomenal dan menjadi pemberitaan di sejumlah media massa nasional. Prita kemudian dibebaskan setelah adanya desakan publik yang menganggap kasus tersebut sebagai pembatasan hak penyampaian pendapat.
Revisi UU ITE
Sejak kasus
Prita, UU ITE mendapat respons negatif dari masyarakat terutama karena pasal
pencemaran nama baik dianggap sebagai peraturan karet yang dapat menjerat siapa
saja tanpa pertimbangan yang jelas. Pasal ini kerap digunakan untuk menjerat
individu yang dianggap telah menyebarkan konten yang dianggap menghina atau
mencemarkan nama baik orang lain. Namun, implementasinya seringkali menjadi
kontroversial karena dianggap dapat mengekang kebebasan berekspresi dan hak
asasi manusia dalam lingkungan digital.
Kontroversi UU
ITE tak hanya terkait pasal tersebut saja, sejumlah lembaga mengajukan
pembatalan ketentuan penyadapan dalam UU ITE ke MK pada 2010. Beberapa kalangan
mendesak agar pasal ini direvisi untuk memberikan perlindungan lebih jelas
terhadap hak-hak individu tanpa merugikan kebebasan berekspresi.
Selain itu, ada
juga kekhawatiran tentang ketidakjelasan dalam batasan-batasan UU ITE yang
dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Misalnya, definisi
"informasi elektronik" dan "sistem elektronik" yang cukup
luas dapat menyebabkan perbedaan pendapat tentang entitas yang diatur oleh UU
ITE. Beberapa kasus di mana orang dituduh atau dituntut karena konten di media
sosial juga menimbulkan pertanyaan tentang batasan kebebasan berpendapat di
dunia maya.
Atas desakan
tersebut, pada 2015, revisi UU ITE masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015
oleh DPR. Akan tetapi, pada 2016, pemerintah dan DPR disebut sepakat untuk
mempertahankan pasal pencemaran nama baik dalam revisi UU ITE. Kesepakatan
tersebut menuai protes dari banyak kalangan publik karena dianggap mengancam
kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Revisi UU ITE
disahkan pada tahun 2016 dan peraturan tersebut berubah menjadi UU Nomor 16
Tahun 2016. Pada tahun 2021, usaha untuk memperbaiki "pasal karet"
dalam UU ITE kembali dimulai. Tim kajian UU ITE dibentuk Menko Polhukam untuk
menyusun panduan implementasi pasal-pasal dalam UU ITE. Upaya tersebut juga
membuka peluang revisi kedua UU ITE karena masih adanya pasal-pasal yang
dianggap sebagai pasal karet di dalamnya.
Menukil laman Kominfo, pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk merevisi UU ITE untuk kedua kalinya. Pasal pencemaran nama baik yang selama ini dianggap sebagai pasal karet masuk dalam salah satu fokus pembahasan revisi. Selain "pasal karet" tersebut, revisi kedua UU ITE difokuskan pada pembahasan peraturan terkait berita bohong (hoaks) dan menyesatkan, serta penguatan pasal cybercrime berupa perundungan (cyber bullying) dan penipuan digital.
Revisi UU ITE Jilid II
Presiden Joko
Widodo (Jokowi) menyetujui revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). UU Nomor 1 Tahun 2024 diundangkan pada Selasa (4/1/2024).
UU ini merupakan hasil perubahan kedua yang disahkan oleh DPR RI pada
(5/12/2023). Beleid itu mengubah sejumlah ketentuan dalam aturan sebelumnya,
yakni UU Nomor 11 Tahun 2008 dan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Perubahan ini
dilakukan untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai
akibat penyalahgunaan informasi elektronik, dokumen elektronik, teknologi
informasi, atau transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban itu. Selain itu
juga dalam pelaksanaan aturan sebelumnya, masih menimbulkan multitafsir dan
kontroversi di masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan untuk mewujudkan
rasa keadilan masyarakat dan kepastian hukum.
Salah satu poin
revisi UU ITE yang baru tidak ada lagi 'pasal karet', yakni Pasal 27 Ayat (3)
yang mengatur pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik. Namun dari ketentuan baru itu
menyisipkan Pasal 27A, yang berpotensi menjadi 'pasal karet' baru.
"Setiap
orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara
menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam
bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui
sistem elektronik," tulis Pasal 27A.
Begitu juga dengan pasal 27B yang
berpotensi akan menjadi polemik, yang berbunyi :
(1) Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan
untuk :
a. Memberikan suatu barang, yang
sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
b. Memberi hutang, membuat
pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Pada pasal 45,
pelanggar Pidana bagi pelanggar pasal 27A yang bakal diterapkan paling lama 2
tahun atau denda paling banyak Rp 400 juta. Sedangkan Pasal 27B paling lama 6
tahun dan/denda paling banyak Rp 1 miliar. Tidak hanya itu aturan baru lainnya
mengenai larangan menyebar berita bohong, yang tertulis dalam pasal 28.
"Setiap
orang dengan sengaja menyebar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di
masyarakat," tulis Pasal 28 Ayat (3). Adapun pidana bagi pelanggar pasal
28, paling lama 5 bulan penjara, dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sumber :
1. Narasi. Sejarah UU ITE di
Indonesia: Perkembangan Regulasi dan Kontroversi Dunia Digital.
https://narasi.tv/read/narasi-daily/sejarah-uu-ite (diakses pada 19 Januari
2024)
2. Emir Yanwardhana. CNBC
Indonesia. Revisi UU ITE Jilid II Resmi Berlaku Usai Diteken Jokowi 4 Januari.
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20240104174919-
37-502848/revisi-uu-ite-jilid-ii-resmi-berlaku-usai-diteken-jokowi-4-januari
(diakses pada 19 Januari 2024)