Pancasila (Chapter 2) - Etimologi Etis, Niai Pancasila, Etimologi Yuridis, dan Empat Pilar Kebangsaan Indonesia

Pancasila secara Etimologi Etis
Etika – bahasa Yunani – yaitu “Ethos” yang berarti “karakter, watak, kesusilaan, atau adat kebiasaan” yang berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atas sesuatu yang telah dilakukan.
Etika atau ilmu (keseluruhan pengetahuan dan pemahaman tertulis maupun tidak) tentang yang baik dan jahat; tentang hak dan kewajiban moral. Etika dihasilkan oleh kebudayaan; dan etika difungsikan atau sangat berguna dalam hubungan antar manusia yang berbudaya. Etika yang difungsikan di dan dalam interaksi sosial menghasilkan hal-hal yang baik, benar, sopan, beradab, tata tertib, dan lain-lain; atau semua hal yang sesuai etika.
Bicara soal etika, maka terdapat beberapa unsur, yaitu kebiasaan, budaya, norma, dan adat istiadat, di antaranya:
1. Kebiasaan; adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.
2. Budaya; adalah keseluruhan sikap dan pola perilaku serta pengetahuan yang merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dan dimiliki oleh suatu anggota masyarakat tertentu.
3. Norma; adalah aturan maupun ketentuan yang sifatnya mengikat suatu kelompok orang di dalam masyarakat. Terdapat 4 jenis norma, yaitu :
➢ Norma Agama; aturan-aturan yang dijalankan oleh masyarakat yang sumbernya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Sumbernya yaitu Kitab Suci. Isinya yaitu wajib, sunnah, makruh, haram. Lembaganya Pemuka Agama. Sanksinya adalah dosa (surga-neraka). Contoh: Makan Babi (dalam Islam dilarang, namun di beberapa agama lain diperbolehkan).
➢ Norma Kesusilaan; aturan-aturan yang dijalankan oleh masyarakat yang sumbernya berasal dari hati nurani seseorang. Lembaganya yaitu individu/diri sendiri. Sanksinya adalah perasaan bersalah dan penyesalan. Contoh: Mencontek.
➢ Norma Kesopanan; aturan-aturan yang menekankan pada perbuatan seseorang untuk menjaga kesopansantunan tindakannya. Sumbernya adat kebiasaan. Isinya perintah, larangan, dan anjuran. Sanksinya pengucilan. Contoh: Memanggil kakak/ panggilan serupa kepada yang lebih tua.
➢ Norma Hukum; aturan-aturan yang dibuat oleh badan yang bertanggung jawab (seperti pemerintah) yang dikemas dalam bentuk Undang-Undang dan bersifat memaksa (mau ataupun tidak tetap harus dipatuhi). Sumbernya yaitu Peraturan Perundang-undangan. Isinya Perintah dan Larangan. Sanksinya sesuai dengan yang sudah diatur seperti penjara, denda, kurungan, dst. Contoh: Korupsi.
4. Adat istiadat; adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai hukum kebiasaan, norma, dan hukum adat yang mengatur tingkah laku manusia satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu kelompok masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun. Adat yang memiliki sanksi disebut hukum adat, sedangkan yang tidak memiliki sanksi disebut adat kebiasaan.

Nilai
yang Terkandung dalam Pancasila
Nilai
adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan buruk di dalam masyarakat. Nilai
dapat dijadikan dasar pertimbangan setiap individu dalam menentukan sikap serta
mengambil keputusan. Menurut Clyde Kluckhohn, nilai sosial dipengaruhi oleh
kebudayaan masyarakat itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan
tata nilai di antara kelompok masyarakat.
Lalu,
apa itu nilai sosial? Nilai sosial tidak berbentuk, alias abstrak karena nilai
sosial itu ada di dalam pikiran, pandangan, ide, atau gagasan setiap manusia.
Contohnya, Anda tidak pernah membuka galeri atau media sosial teman Anda tanpa
seizin mereka, karena Anda meyakini bahwa itu adalah privasi. Selain itu, Anda
juga takut dicap tidak sopan oleh teman Anda. Itu tandanya, Anda memiliki nilai
yang Anda yakini dan Anda jaga.
Nilai
juga tidak memiliki sanksi atau hukuman jika dilanggar. Karena nilai sosial itu
sesuatu yang diyakini dalam diri manusia saja, dan tidak diwujudkan dalam
aturan hukum yang formal.
Di dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai:
1. Ketuhanan; terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan; terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini, yaitu tindakan manusiawi. Tindakan kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap yang adil dan beradab sehingga menjamin tata pergaulan antar manusia dan antar makhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi yaitu kebajikan dan kearifan.
3. Persatuan; terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan dan solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
4. Kerakyatan; terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat. Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
5. Keadilan; terletak pada bahwa keadilan tidak hanya menekankan pada kewajiban semata (deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), melainkan lebih mengarah pada keutamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.
Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Pentingnya Pancasila sebagai etika bagi bangsa Indonesia adalah menjadi ramu normatif untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

Pancasila secara Etimologi Yuridis
A. Pancasila sebagai Dasar Negara dan Sumber dari Segala Sumber Hukum di Indonesia
Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai dasar Negara, Pancasila juga sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Posisi Pancasila dalam hal ini menjadi pedoman dan arah bagi setiap bangsa Indonesia dalam menyusun dan memperbaiki kondisi hukum di Indonesia. Mengingat, bahwa hukum terus berubah dan mengikuti perkembangan masyarakat, maka setiap perubahan yang terjadi akan selalu disesuaikan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang mengacu pada Pancasila.
B. Pancasila sebagai Sumber Tertinggi dari Segala Sumber Hukum Positif Indonesia
Pancasila sebagai sumber tertinggi dari segala sumber hukum positif Indonesia, A. Hamid S. Attamimi menempatkan Pancasila pada dua tempat, yaitu sebagai cita hukum (Rechtsidee) dan norma fundamental (Fundamental Norm) negara. Penempatan Pancasila sebagai rechtsidee merujuk pada penjelasan umum UUD 1945 (dihapuskan setelah perubahan UUD 1945) yang menetapkan bahwa Pancasila adalah cita hukum yang menguasai atas hukum dasar negara, baik itu hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis.
Merujuk pada pemikiran Rudolf Stammler, Attamimi menyatakan bahwa cita hukum adalah konstruksi pikiran atau gagasan yang menjadikan suatu keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang dikendaki oleh masyarakat. Fungsi dari cita hukum adalah sebagai lentera pemandu untuk terwujudnya cita-cita masyarakat.Indonesia. Pancasila selain sebagai cita hukum, juga sebagai norma fundamental negara. Dengan demikian, seluruh sila-sila Pancasila, baik itu per sila maupun semua sila menjadi norma dasar atau norma tertinggi untuk berlakunya semua norma hukum yang mengatur hidup rakyat Indonesia.
C. Pancasila sebagai Norma Dasar
Hipotesis norma dasar Hans Kelsen sebagai landasan akhir untuk validitas tatanan hukum berisi gagasan bahwa semua tatanan hukum pada akhirnya didasarkan pada pengandaian implisit (implicit presupposition) bahwa otoritas yang menciptakan norma positif tertinggi, di mana keabsahan seluruh tatanan hukum kemudian bergantung, diberi wewenang untuk melakukannya. Norma dasar tidak ditempatkan baik sebagai fakta atau sebagai norma, melainkan sebagai pengandaian implisit, yang diperlukan secara logis untuk memahami gagasan tentang tatanan hukum pada tempat pertama.
➢ Pancasila berkedudukan paling tinggi yang fungsinya memberikan validitas pada norma-norma hukum yang ada dalam tatanan norma hukum di bawahnya.
➢ Pancasila dengan kedudukannya yang tertinggi dalam susunan norma hukum tidak berlaku sah karena mendapatkan validitas norma di atasnya, tetapi karena pengandaian berlaku sah yang akan ditugaskan untuk memberikan validitas normanorma hukum di bawahnya. Oleh karena dasarnya suatu pengandaian, maka validitas dari Pancasila tidak perlu untuk dipertanyakan dan diperdebatkan.
➢ Pancasila adalah norma nonhukum. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Kelsen bahwa faktor yang melegitimasi setiap norma hukum akan menjadi bagian dari hierarki norma hukum, kecuali hanya satu yang bukan norma hukum, yaitu norma dasar. Mengapa norma dasar ini disebut Kelsen sebagai norma nonhukum? Karena norma dasar tidak mendapatkan legitimasi dari norma hukum (tidak ada lagi norma hukum di atas norma dasar, validitasnya karena pengandaian) tetapi justru fungsinya untuk memberikan legitimasi norma hukum.
➢ Pancasila sebagai norma dasar menjadi titik henti dalam proses pencarian validitas norma hukum. Dalam jenjang norma hukum, satu norma hukum berlaku sah karena norma hukum yang ada di atasnya, norma hukum yang di atas itu berlaku sah karena norma hukum yang ada di atasnya lagi, dan terus demikian, sampai berhenti pada norma dasar. Norma dasar sebagai titik henti validitas norma hukum tidak dapat dicari validitasnya pada norma hukum lainnya.
➢ Pancasila sebagai norma dasar menjadi titik inti penilaian norma-norma dalam tatanan norma hukum. Norma hukum yang pembentukan dan isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan Pancasila akan kehilangan karakternya sebagai norma hukum.
Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dimuat lengkap dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Adapun bunyi UU tersebut yaitu:
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Empat Pilar Kebangsaan Indonesia
Empat Pilar Kebangsaan Indonesia Konsep empat pilar kebangsaan merupakan diperkenalkan saat Taufiq Kiemas menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2009-2014. Konsep ini dipandang sangat penting bagi Indonesia dengan heterogenitasnya yang kompleks dan potensi disintegrasi yang tinggi.
Empat pilar adalah kumpulan nilai-nilai luhur yang harus dipahami oleh seluruh masyarakat dan menjadi panduan dalam kehidupan ketatanegaraan untuk mewujudkan bangsa dan negara yang adil, makmur, sejahtera, dan bermartabat.
Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi, dan konteks yang berbeda. Dalam hal ini, posisi Pancasila tetap ditempatkan sebagai nilai fundamental berbangsa dan bernegara. Menurut MPR, pengamalan nilai-nilai empat pilar diharapkan dapat mengukuhkan jiwa kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme generasi penerus bangsa untuk semakin mencintai dan berkehendak untuk membangun negeri.
Berikut Empat Pilar Kebangsaan Indonesia:
1. Pancasila
Merupakan dasar negara Indonesia, tak perlu diperdebatkan lagi bahwa Pancasila menjadi yang pilar pertama dalam kebangsaan Indonesia.
2. UUD 1945
UUD 1945 pertama kali disusun rancangannya pada 29 April 1945. Untuk membuat undang-undang ini, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sengaja dibentuk. Kemudian, pada 22 Juni 1945 dibentuk panitia sembilan. Mereka merancang Piagam Jakarta yang kemudian menjadi naskah pembukaan UUD 1945. Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Baru pada 29 Agustus 1945 Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengukuhkan pengesahan UUD 1945.
3. NKRI
NKRI adalah singkatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdiri dari Sabang sampai Merauke. NKRI berdiri sejak proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Ir Soekarno dan Moh Hatta. NKRI menganut sistem republik dengan sistem desentralisasi. Hal itu sesuai dengan pasal 18 UUD 1945 di mana pemerintah daerah boleh menjalankan otonomi seluas-luasnya di luar bidang pemerintahan oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
4. Bhinneka Tunggal Ika
Bukan sekadar slogan, Bhineka Tunggal Ika merupakan gambaran dari bangsa Indonesia. Adapun, 'Bhina' artinya pecah, 'Ika' artinya itu, 'Tunggal' artinya satu, sehingga Bhineka Tunggal Ika berarti terpecah itu satu. Slogan tersebut memiliki gambaran yang sesuai dengan Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke. Walaupun terpisah, masyarakat merupakan satu kesatuan, yakni warga negara Indonesia.