Pancasila (Chapter 1) - Asal Usul, Historis, dan Makna

Asal Usul Pancasila
Penamaan Pancasila sebagai dasar negara tak lepas dari pengaruh kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia (abad ke-14). Istilah “Pancasila” berasal dari Bahasa Sanskerta (digunakan oleh kasta Brahmana di India, sedangkan rakyat biasa Prakerta) yang menurut Muhammad Yamin memiliki dua macam arti secara leksikal, yaitu:
• “Panca” artinya “Lima”
• “Syila” (vokal i pendek) artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
• “Syiila” (vokal i panjang) artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting, atau yang senonoh”
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahawa Jawa diartikan “susila” yang berhubungan dengan moralitas.
Oleh karena itu, secara etimologi kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah istilah “Panca Syila” dengan vokal i pendek yang bermakna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i (vokal i panjang) bermakna “lima aturan tingkah laku yang penting”.
Pada masa awal kerajaan Majapahit, era kuasa Hayam Huruk kalimat "Pancasila" ditemukan dalam 2 kitab, (1) kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca dan (2) kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.
Di dalam kitab Negarakertagama terdapat sebuah ketentuan yaitu “Yatnanggegwani Pancasyiila Kertasangskarbhisekaka Krama” yang artinya “Raja menjalankan kelima pantangan dengan setia” yaitu :
1. mateni (membunuh)
2. maling (mencuri)
3. madon (melacur)
4. madat (pecandu)
5. main (taruhan/berjudi)
Dalam kepustakaan Budha India yang bersumber dari kitab suci Tri Pitaka dan Vinaya Pitaka yang membicarakan tentang moral untuk mencapai surga, di dalamnya terdapat Lima Prinsip Moral (yang dalam kitab Sutasoma disebut “Pancasila Karma”) yaitu “lima dasar tingkah laku atau perintah kesusilaan”, yakni sebagai berikut:
1. Jangan mencabut nyawa orang lain (larangan membunuh)
2. Jangan mengambil barang yang tidak diberikan (larangan mencuri)
3. Tidak melakukan perbuatan asusila (larangan berbuat asusila)
4. Menghindari ucapan yang tidak benar (larangan berbohong)
5. Menghindari segala minuman dan makanan yang menyebabkan lemahnya kesadaran (larangan mabuk)

Pancasila secara Historis
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengadakan sidang sebanyak dua kali dalam masa terbentuknya hingga dibubarkan.
A. Sidang BPUKI I (29 Mei – 1 Juni 1945)
Sidang BPUPKI pertama membahas dasar negara Indonesia. Proses perumusan Pancasila diawali ketika sidang BPUPKI pertama yang diketuai dr. Radjiman Widyodiningrat. Kemudian tampillah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.
Rumusan konstitusi usulan Muh. Yamin secara tertulis (29 Mei 1945), yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Kebangsaan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Lima usulan dasar negara dari Soepomo (30 Mei 1945), yaitu:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Keseimbangan Lahir dan Batin
4. Musyawarah
5. Keadilan Sosial
Rumusan dasar negara oleh Soekarno (1 Juni 1945), yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat (Demokrasi)
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
B. Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Sebelum sidang BPUPKI II, Piagam Jakarta dihasilkan oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Panitia Sembilan merupakan kepanitiaan kecil bentukan BPUPKI yang bertugas merumuskan kembali hasil sidang BPUPKI I yang berupa sumbangan-sumbangan pemikiran para pembicara. Anggotanya dianggap mewakili golongan kebangsaan dan golongan Islam yaitu Soekarno (ketua), Moh. Hatta, Muh. Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, H. Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, K.H. Abdul Kahar Muzakir, dan K.H. Wachid Hasjim.
Rumusan yang dinamai oleh Muh. Yamin sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter) memuat rumusan Pancasila, yaitu:
1. Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
C. Sidang BPUPKI II (10 – 17 Juli 1945)
Sidang BPUPKI kedua menghasilkan rumusan dasar negara dan rancangan UUD. Pada Sidang kedua BPUPKI, dibentuk Panitia Perancang UUD. Panitia ini menyetujui Rancangan Preambul, yaitu Piagam Jakarta yang sudah ditandatangani tanggal 22 Juni 1945. Panitia ini juga membentuk Panitia Kecil pada tanggal 11 Juli 1945 yang bertugas menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan UUD yang sudah disepakati. Pada 13 Juli 1945, Panitia Perancang UUD membahas hasil kerja Panitia Kecil atau Panitia Sembilan.
Panitia Perancang UUD dari BPUPKI pada 14 Juli 1945 melaporkan hasil kerja berupa rancangan pernyataan Indonesia merdeka (Declaration of Independence). Pernyataan Indonesia merdeka diambil dari tiga alinea pertama Piagam Jakarta.
Lalu, dihasilkan juga rancangan pembukaan UUD yang konsepnya diambil dari alinea keempat Piagam Jakarta yang memuat tentang dasar negara. Perbedaannya terletak pada kalimat ‘Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’ diganti menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Perubahan ini disebabkan bangsa Indonesia memeluk agama yang beragam. Perumusan dasar negara pun berakhir di sidang BPUPKI kedua.
Pada 17 Juli 1945, BPUPKI juga menerima hasil kerja 23 anggota Panitia Pembela Tanah Air yang diketuai Abikoesno Tjokrosoejoso dan 23 anggota Panitia Soal Keuangan dan Ekonomi yang diketuai oleh Moh. Hatta.
Setelah sidang BPUPKI kedua, Jepang membubarkan BPUPKI karena Jepang menganggap bangsa Indonesia terlalu cepat memproklamasikan kemerdekaan. Sebagai gantinya, dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai yang kemudian bersidang tiga kali pada 18, 19, dan 22 Agustus 1945 pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Makna Pancasila
Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mencetuskan penamaan dan pandangannya terhadap prinsip dasar negara Indonesia yang kita kenal sebagai Pancasila. Pada sidang BPUPKI saat itu, Bung Karno sangat tajam membahas tentang prinsip dasar ini, ia menjelaskan bahwa Pancasila merupakan :
- philosophische grondlag (bahasa Belanda) yang artinya “Norma Dasar yang Bersifat Filsafat”; norma (lag), dasar (grands), dan bersifat filsafat (philosophische),
- weltanschauung (bahasa Jerman) yang artinya “Pandangan Mendasar Dunia”; pandangan mendasar (anschauung) dan dunia (welt).
“itulah fundamen, filosofi, pikiran, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan Gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”, jelas Bung Karno dalam sidang saat itu.
Selanjutnya Bung Karno menamakan kelima asas tersebut “Pancasila” (Bung Karno mendapatkan nama itu dari seorang ahli Bahasa yang tidak disebutkan namanya). Usulannya tersebut secara bulat diterima oleh sidang BPUPKI. Selanjutnya beliau mengusulkan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi “Tri Sila” yang rumusannya sebagai berikut:
1. Sosio-Nasional (Nasionalisme dan Internasionalisme)
Artinya, nasionalisme yang dijalankan berdasarkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mencapai tahapan sosio-nasional, pemerintah harus terlebih dahulu merebut kekayaan sumber daya alam Indonesia yang saat ini dikuasai oleh bangsa asing. Konsep ini lahir dari rasa cinta terhadap manusia yang menolak berbagai bentuk penindasan dan penghisapan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
2. Sosio-Demokrasi (Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat)
Artinya, demokrasi yang mengakar dalam masyarakat dan tidak tunduk pada satu kelompok tertentu saja. Sosio-demokrasi adalah demokrasi sejati yang mandiri secara ekonomi dan berdaulat secara politik. Suatu bentuk demokrasi yang tidak hanya fokus pada kesetaraan politik belaka, melainkan juga melirik masalah kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Untuk mencapai tahapan sosio-demokrasi, pemerintah (setelah mengambil alih kuasa bangsa lain atas sumber daya bangsa kita) harus menyerahkan semua kekayaan alam Indonesia untuk seluas-luasnya kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan masyarakat secara politik.
3. Ketuhanan Yang Maha Esa
Konsep ketuhanan ini lahir karena Bung Karno melihat bahwa nenek moyan bangsa Indonesia sangat mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dan taat akan ajaran agama serta kepercayaannya. Untuk mencapai tahapan ketuhanan dalam kehidupan bermasyarakat kita harus bisa menghargai satu sama lain, bertoleransi dengan segala perbedaan dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan oleh agama dan kepercayaannya. Tujuan prinsip Ketuhanan adalah untuk menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa dan berkebudayaan (yaitu tanpa adanya egoisme-agama), dan diharapkan saling menghormati satu sama lain, dan berbudi pekerti yang luhur.
Lalu, ia pun memperkenalkan kata Ekasila,
“Jika kuperas yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama, amal semua buat semua. Prinsip gotong royong di antara si kaya dan si tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan kepada saudara-saudara”.
Kemudian Tri Sila tersebut masih dapat diperas lagi menjadi “Eka Sila” yaitu Gotong Royong dan tercermin dalam semboyan NKRI yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya “Berbeda-beda namun tetap satu juga”.
Kelima Sila tersebut tidak serta merta ada begitu saja, Bung Karno memberikan penjelasannya,
“Rukun Islam ada lima, jari kita ada lima setangan, kita memiliki pancaindra, jumlah pahlawan kita Mahabharata, Pendawa, juga lima. Lantas, sekarang waktunya kita merumuskan asas-asas dasar negara kita, maka lima pula bilangannya”.