Kemerdekaan Pendidikan Merdekakan Bangsa

Oleh : Muhammad Giri Ainul Yaqien
Sekretaris Jenderal SAPMA PP Komisariat UNTIRTA 2023-2024
Pergeseran Makna Pendidikan
Menurut
Ki Hajar Dewantara, mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia,
sehingga harus memerdekakan manusia dan segala aspek kehidupan baik secara
fisik, mental, jasmani, dan rohani.
Manusia
dalam konteks definisi pendidikan tersebut berperan sebagai subjek sekaligus
objek. Sebagai subjek yaitu pendidik dan objek yaitu peserta didik. Dia
(manusia) yang hari ini dididik (peserta didik) adalah dia yang kelak akan
mendidik (mewariskan pendidikan) kepada peserta didik, dan begitu sejak dulu
hingga ke depannya.
Namun
secara situasi kondisi yang terjadi hari ini di masyarakat, manusia hanya
dijadikan objek semata, perannya sebagai subjek terus menerus tergerus
seiringan dengan langgengnya kapitalisasi yang masuk melalui neoliberalisasi ke
dalam ranah pendidikan. Kapitalisasi itu masuk ke dalam sistem hingga pemahaman
para peserta didik bahkan pendidik, yang akhirnya terjadi pergeseran peran
subjek disini bukan lagi mereka si pendidik, melainkan si kapitalis.
Segala
kurikulum yang dirancang, silabus materi yang disampaikan, metode pengajaran
yang dijalankan hanyalah wujud perpanjangan tangan dari para kapitalis. Mereka
(kapitalis) mengubah pendidikan yang awalnya merupakan hak seluruh umat manusia
yang bersifat mulia dan terbuka menjadi pendidikan yang liberal dan tak
proporsional, sebagai barang dagang (komersil) serta bersifat
eksklusif-tertutup (privat).
Hal
ini sejalan dengan pemikiran ekonom Samuel Bowles & Herbert Gintis dari
Amerika Serikat, melalui bukunya yangditulis lebih dari 40 tahun yang lalu, ‘Schooling
in Capitalist America: Educational Reformand the Contradictions of Economic
Life’ (1976), juga telah mengkritisi bagaimana sistem pendidikan (pedagogi,
kurikulum, beserta beragam aturan institusi pendidikan) disesuaikan untuk
memenuhi kebutuhan kapitalisme. Dalam upaya menghasilkan ‘logika kapitalisme’.
Salah satu ciri khas menanamkan apa yang oleh ahli pendidikan kritis dan filsuf
Paulo Freire (1973) disebut sebagai “budaya diam”, sebuah pola pikir yang patuh
terhadap struktur dan hirarki layaknya sebuah mesin korporat.
Refleksi
Pendidikan di Indonesia
Salah
satu peninggalan Soeharto yang paling mematikan yaitu masih tertanamnya dan
mengakarnya konsep ‘modernitas’ dan ‘pembangunan’ ala Soeharto dalam kesadaran
kolektif masyarakat Indonesia, termasuk para pemimpinnya. Hal ini disertai
redamnya kritik terhadap fondasi dan kerangka dari ‘pembangunan’
dan‘modernitas’ yang seringkali menindas tersebut. Sebuah peninggalan pola
pikir yang terus berlanjut bahkan setelah reformasi terjadi.
Indonesia
mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan telah diratifikasinya
Perjanjian World Trade Organization (WTO) oleh Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan (ratifikasi)
“Agreement Establising the World Trade Organization”, maka Indonesia secara
resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya
telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional.
World
Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan
satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah
perdagangan antarnegara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui
suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional
sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota.
Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antarnegara anggota yang mengikat
pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan yang
tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir
dan importir dalam kegiatan perdagangan.
WTO
adalah organisasi dunia yang menggagas lahirnya konsep liberalisasi perdagangan
dunia. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pembentukannya, yakni untuk menunjang
agar perdagangan dunia dapat menjadi semakin terbuka, supaya arus perdagangan
dapat berkembang dengan semakin mengurangi hambatan-hambatan tarif maupun non
tarif.
Keterbukaan
pasar yang semakin luas akan meningkatkan arus perdagangan yang pada gilirannya
akan menunjang kegiatan ekonomi semua anggota yang selanjutnya akan
meningkatkan kesejahteraan ekonomi masing-masing anggota. Konsep ini
mempromosikan perdagangan yang lebih terbuka dan kompeten untuk menghasilkan
aturan perdagangan yang bersifat multilateral sehingga semakin terbuka dan
bebasnya perdagangan, maka semakin besar arus laba, baik bagi negara maupun
bagi pelaku perdagangan sehingga masyarakat dunia semakin sejahtera.
Salah
satu aspek yang dicakup oleh WTO adalah perdagangan jasa yang diatur dalam
General Agreement on Trade in Services (GATS) yang merupakan salah satu
lampiran (annex) dari Perjanjian Pembentukan WTO beserta Schedule of Specific
Commitments yang berisi daftar komitmen Indonesia yang sifatnya spesifik dan
menjelaskan sektor dan transaksi di bidang jasa mana saja yang terbuka bagi
pihak asing serta kondisi-kondisi khusus yang disyaratkannya.
GATS
meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa.
GATS merupakan satu kesepakatan multilateral pertama yang pernah dihasilkan dan
memiliki dasar hukum serta peraturan-peraturan yang mengatur perdagangan
internasional di bidang jasa. Dengan mengamankan akses pasar dan proses
liberalisasi secara progesif, kesepakatan ini mendorong pertumbuhan perdagangan
jasa-jasa seperti yang pernah dilakukan oleh GATT untuk perdagangan barang
sejak tahun 1947. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak dapat
menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk
perdagangan jasa pendidikan.
Mengenai
kaitannya dengan pendidikan yang merupakan salah satu dari 12 cakupan
perdagangan jasa dalam General Agreement on Trade in Services (GATS), WTO
melalui GATS menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri tersier
yang perlu diliberalisasi. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan
barang, jasa dan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPS) atau
hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.
Pembangunan
yang memiskinkan, pendidikan yang mematikan, neo-feodalisme yang mengakar,
permasalahan rasisme yang tak pernah diselesaikan secara tuntas, dan amarah
akan keadaan yang tak mampu dipahami. Maka bukanlah sesuatu yang mengherankan
jika agama menjadi saluran kegelisahan maupun amarah masyarakat,karena
diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif akan sebuah sistem yang menindas.
Agama pada akhirnya tak hanya menjadi pedoman nilai-nilai kehidupan, pegangan
spiritualitas dan identitas, namun tak jarang juga menjadi kerangka utama dalam
memandang dan memahami dunia termasuk konflik-konflik sosio-politik. Tantangan
dari hal ini adalah, ketidakmampuan kita untuk melihat bahwa sesungguhnya
agamapun,dalam banyak hal, dapat dan telah dikooptasi oleh kapitalisme,
xenophobia dan kepentingan oligarki.
Pendidikan
Kritis ala Freire
Isu
seputar Pilkada DKI Jakarta 2017 membuka mata kelas menengah akan pentingnya sikap
kritis, terutama dalam hal menanggapi informasi yang diterima. Kata ‘hoax’ mungkin
menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan atau didengar beberapa
tahun belakangan terakhir.
Walaupun
telah ada usaha untuk membantu masyarakat memisahkan antara berita yang benar
dan tidak, permasalahan ketidakmampuan bernalar kritis kita harus diatasi ke
akar permasalahannya. Dibutuhkan sebuah revolusi pendidikan yang terbuka
terhadap kritik, mendorong masyarakat untuk berfikir secara kritis akan dirinya
maupun dunia sekitarnya dan, sesuai dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara,
membentuk pendidikan yang memanusiakan manusia. Di sini mungkin kita dapat
mengacu pada sosiolog C. Wright Mills (1959) dengan konsep sociological
imagination –nya dan juga pemikiran-pemikiran Paulo Freire (1970, 1973)
tentang pedagogi kritis.
Melalui
sociological imagination atau imajinasi sosiologis, Mills menerangkan
bahwa imajinasi ini dapat membantu seseorang memahami hubungan antara
pengalaman kehidupan kesehariannya dengan struktur sosial dalam masyarakatnya.
Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana pola konsumsi pribadi keseharian
kita tak lepas dari konstruksi sosial yang turut dibentuk oleh industri
kapitalis lokal maupun global. Begitu juga dengan bagaimana kita mengalami
kelas sosio-ekonomi kita (dengan beragam privilege yang dirasakan kelas
atas maupun penindasan yang dirasakan harian oleh kelas bawah) yang telah
dibentuk oleh struktur saat ini dan juga secara historis.
Freire
berpendapat serupa namun melihatnya dari perspektif pendidikan. “Apa yang dibutuhkan”,
menurut Freire (1973), “adalah pendidikan untuk kembali ke masyarakat dan membantu
mereka untuk memasuki proses pembentukan sejarahnya secara kritis”. Ia kemudian
selebihnya menjelaskan bahwa prasyarat yang dibutuhkan adalah bentuk pendidikan
yang memungkinkan individu merefleksikan dirinya, tanggung jawab mereka dan
peran mereka dalam konteks sosio-politiknya. Bukan sebuah pendidikan yang mengindoktrinasi,
namun pendidikan yang emansipatoris.
Melihat
kembali bagaimana Indonesia mengaktualisasi pendidikannya, maka kita harus
meredefinisi makna dari ‘kualitas’ pendidikan. Kita dapat mengacu kualitas
pendidikan dari sudut pandang yang teknis, seperti kemampuan membaca dan
berhitung (yang masih sangat tertinggal jauh). Namun kita juga harus terbuka
akan beragam permasalahan yang tak tampak di dalam kelas, atau seringkali
disebut hidden curriculum.
Hirarki
ilmu pengetahuan IPA vs IPS, Bahasa & Seni (pendidikan teknokratis),
pembelajaran sejarah, struktur sosial, pembangunan masyarakat Indonesia yang
masih sangat terpaku dari penafsiran OrBa (pendidikan indoktrinasi), fokusnya
sekolah maupun guru terhadap hasil akhir nilai ketimbang proses pembelajaran
(pendidikan massification– produksi massal layaknya pabrik), dan
tentunya dikarenakan permasalahan di atas, hampir tidak diberikannya ruang
untuk guru maupun murid dalam mengeksplorasi dan refleksi diri maupun keadaan
masyarakatnya secara kritis dan objektif.
Yang
diharapkan oleh Freire akan sebuah pendidikan yang reflektif, sekali lagi
reflektif terhadap diri maupun struktur
sosio-politik di sekitar kita, adalah agar terbentuknya dan meningkatnya sebuah
kapasitas kritis untuk memilih. Membentuk sebuah masyarakat yang sejatinya
demokratis, yang mampu mengerti ketika kebutuhan mereka telah ditunggangi oleh
kepentingan para elit, yang mampu melihat melampaui retorika politis,maupun
populisme yang dilandasi politik identitas. Pendidikan yang kita memiliki saat
ini hanya mematikan pikiran kita, tak menyentuh secara kritis keadaan
masyarakat kita dan hanya menanamkan retorika toleransi yang dilandasi oleh
solidaritas semu. Dan pendidikan emansipatoris ala Freire bukanlah sebuah
angan-angan utopis.
Menyediakan pendidikan
untuk masyarakat yang tak mampu, di mana selama periode ini pendidikan
ditujukan untuk mereka yang mampu, darah biru atau keturunan Eropa. Begitu pula
memberikan pendidikan kepada perempuan dengan harapan membebaskan mereka dari
penjara patriarkal. Bahkan Ki Hajar Dewantara, dalam upayanya mendukung kesetaraan
sosial, menghilangkan gelar ‘Raden Mas’ dari namanya yang bersumber dari pendidikan
feodalistiknya.
Pendidikan yang
anti-feodalisme, anti-imperialisme, anti-kapitalisme dan feminis. Sesuatu yang
sangat radikal untuk masanya bahkan untuk saat ini. Progres bukanlah sebuah hal
yang otomatis terjadi, dibutuhkan sebuah intervensi kritis dan di sinilah
seharusnya peran utama pendidikan diperlukan.
Walaupun
sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih menghormati Ki Hajar Dewantara
sebagai bapak pendidikan, melihat keadaan pendidikan kita saat ini, minim akan
nilai-nilai progresif, maupun kesadaran kritis dan bagaimana pendidikan masih sangat
dikendalikan oleh narasi sosio-politik mereka yang berkuasa. Indonesia telah menyimpang
jauh dari gagasan revolusionernya akan pendidikan yang emansipatoris.
Sumber :
Indoprogress.
Pendidikan, Pembangunan, dan Kesadaran Kritis. 2017. indoprogress.com/2017/07/pendidikan-pembangunan-dan-kesadaran-kritis/
(diakses pada 19 Agustus 2023)
Freire, Paulo. Pendidikan
yang Membebaskan. 2001. MELIBAS. Jakarta Timur.